Minggu, 15 Juli 2018

USHUL FIQIH "KAIDAH TARJIH DAN BAHTSU MASAIL"

KAIDAH TRJIH DAN BAHTSUL MASA’IL
Kelompok 9 :
Mualifah Khoirunnisa 210317316
Danu Sasongko Ahmad 210317
Imamul Aziz 210317

PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarjih dan Pengertian Bahtsu Masa’il
1. Pengertian Tarjih
Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
a. Menurut Ulama Hanafiyah:
اِظْهَارُ زِيَادَةٍ  لِأَحَدِ المُتَمَاثِلَيْنِ عَلَي الأَخَرِبِمَا لاَ يَسْتَقِلُّ
Artinya:
“Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil tambahan yang menjadi pendukunganya harus berkaitan dengan salah satu dalil yang didukungnya.
b. Menurut Jumhur Ulama

تَقْوِيَةُ إِحْدَي الإِمَارَتَيْنِ عَلَي الأَخَرِي لِيَعْمَلَ بِهَا
Artinya:
“Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.”
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zanni.  Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i. Juga tidak termasuk antara yang qath’i dengan yang zhanni.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Di antara alasannya, para sahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para sahabat lebih menguatkan hadis yang dikeluarkan oleh Siti ‘Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu antara alat vital lelaki dan alat vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), dari pada hadis yang diterima dari Abu Hurairah, “Air itu berasal dari air”. (H.R. Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban). 
Tarjih diartikan dengan: menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan dari pada yang lain. Sebagian ulama membuat batasan tarjih ialah menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sangan dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain.
2. Pengertian Bahtsu Masa’il
Bahsu masail adalah kepanjangan dari Bahsul al-Masa’il al-Diniyah  yang berarti penelitian atau pembahasan masalah-masalah keagamaan. Bahstul masail adalah suatu forum yang membahas masalah-masalah yang belum ada dalilnya atau belum ketemu solusinya.
B. Metode Tarjih dan Metode Bahtsu Masa’il
1. Metode Tarjih
Menurut para ulama ushul, cukup banyak metode yang bisa digunakan untuk men-tarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan melalui cara at-jam’u baina at-ataufiq dan nasakh. Namun cara pen-tarjih-an tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush dan (2) at-Tarjih baina al-Qiyas, yaitu menguatkan salah satu qiyas  (analogi yang bertentangan).
a. Tarjih Bain an-Nushush
Terbagi menjadi beberapa bagian, berikut ini:
1) Dari segi sanad
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pen-tarjih-an   dapat dilakukan melalui 42 cara, di antaranya dikelompokkan dalam bagian berikut:
a) Menguatkan salah satu nash  dari segi sanadnya
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadis. Menurut jumhur, hadis yang banyak perawinya di-tarjih-kan dari yang sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan sangat kecil.
Jumhur juga berpendapat bahwa pen-tarjih-an boleh dilakukan berdasarkan kualitas perawi, misalnya hadis yang perawi lebih kuat dhabit (kuat hapalan) dikuatkan dari hadis yang perawinya tidak dhabit. Dan tidak boleh pula men-tarjih hadis berdasarkan pada cara penerimaan hadis, misalnya hadis yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi lebih diutamakan daripada hadis yang diterima perawi melalui tulisan.
b) Pen-tarjih-an dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu menguatkan hadis mutawatir daripada hadis masyhur atau menguatkan hadis masyuhur dari pada hadis ahad. Bisa juga dengan melihat persambungan sanadnya, misalnya hadis yang sampai ke Rasul.
c) Pen-tarjih-an melalui cara menerima hadis dari rasul
Yaitu me-rajih-kan hadis yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi dari hadis yang diterima perawi melalui tulisan. Dikuatkan hadis yang memakai lafazh langsung dari Rasulullah  SAW. seperti lafal naha (melarang) atau amara (memerintah) dari pada riwayat yang lain. Begitu pula hadis ahad yang matannya tidak menyangkut orang banyak didahulukan dari hadis Ahad matannya mengandung orang banyak. Hal itu didasarkan pada kesaksian Ulama Ushul, bahwa tidak mungkin hadis yang menyangkut orang banyak memiliki perawi sedikit.
2) Dari segi matan
Maksud dari matan adalah teks ayat, hadis atau ijma’. Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pen-tarjih-an dari segi matan, antara lain:
a) Teks yang mengandung larangan diutamakan dari pada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemadaratan lebih utama dari pada mengambil manfaat.
b) Teks yang mengandung perintah didahulukan dari pada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus melaksanakan yang hukumnya boleh.
c) Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan dari pada makna majazi-nya.
d) Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
e) Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks umum yang di-taksis.
f) Teks ang sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
g) Teks yang muhkan lebih diutamakan daripada teks yang mufassar,  karena muhkan lebih pasti dibanding mufassar.
h) Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran.
3) Dari segi hukum dan kandungan hukum
Cara pen-tarjih-an melalui metode ini, menurut Al-Amidi ada 11 cara, sedangkan menurut Asy-Syaukani ada Sembilan cara, yaitu:
a) Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang memperbolehkan.
b) Teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan daripada teks yang bersifat menetapkan memberi informasi tambahan.
c) Menghindarkan terpidana dari pada hukuman.
d) Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan dari pada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.
4) Menggunakan factor (dalil) lain di luar Nash
Menurut Al-Amidi ada lima belas cara pen-tarjih-an dengan menggunakan factor lain di luar nash, namun Imam Asy-Syaukani meringkas menjadi 10 cara, di antaranya:
a) Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.
b) Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya Al-Qur’an dan penafsirannya. Selain itu, ada anjuran untuk mengikuti mereka.
c) Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud dari pada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
d) Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
e) Mendahulukan dalil yang diikuti degan perkataan atau pegamalan dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
b. Tarjih Bain al-Aqyisah
Wahab Al-Zuhaili mengelompokkan tujuh belas cara pen-tarjih-an dalam persoalan qiyas yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syaukani ke dalam empat kelompok.
1) Dari segi hukum Ashl
Pen-tarjih-an qiyas dari segi hukum asal, menurut Imam Asy-Syaukani bisa menggunakan enam belas cara, di antaranya:
a) Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.
b) Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma’  dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab  nash  itu bisa di-taksis, di-takwil, dan di-nasakh,  sedangkan ijma’ tidak.
c) Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
d) Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
e) Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan di-nasakh.
f) Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus. 
2) Dari segi hukum cabang
a) Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya
b) Menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang hanya diketahui secara zhanni.
c) Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshili.
3) Dari segi Illat
Pen-tarjih-an ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu dari segi cara penetapan illat dan dari segi sifat illat itu sendiri.
4) Dari segi cara penetapan Illat , antara lain:
a) Menguatkan illat  yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian
b) Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sirbu wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilahan illat  ) yang dilakukan oleh para mujtahid dari illat  yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara illat  dengan hukum.
c) Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari  illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian), karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
5) Dari segi sifat illat
a) Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relative.
b) Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu hukum saja.
c) Menguatkan illat yang berkaitan dengan msalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjangan). Dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatan yang bersifat hajjiyah dari pada yang bersifat tahsiniyah (pelengkap)
d) Menguatkan illat yang jelas melatar belakangi sutau hukum, dari pada illat yang bersifat indicator saja terhadap latar belakang hukum.
6) Melalui factor luar
Dapat dilakukan dengan:
a) Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
b) Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil)
c) Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu’  saja.
d) Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil.
2. Metode Bahtsu Masa’il
Metode bahsul masa’il mengacu pada pemecahan masalah dalam persoalan fiiqih, materi yang jadi persoalan bervariasi dan mencaku masalah-masalah aktual. Dengan demikian metode bahsul masa’il ini menitik beratkan kepada kemampuan perseoragan didalam menganalisis dan memecahkab masalah suatu persoalan dengan argumen logikan yang mengacu pada kitab-kitab tertentu.
Model sistem Bahstul Masa’il coraknya beragam. Secara garis besar di kalangan Nahdiyin terdapat tiga macam model Bahstu Masail:
a) Bahtsul Masail model pesantren yang lebih menonjolkan semangat I’tiradl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan al-kutub al-Mu’tabarah. Dalam hal ini, peserta bebas berpendapat, menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan oleh Tim Perumus.
b) Bahtsu Masa’il model NU, dalam hal ini lebih menonjolkan porsi I’tidladl yaitu penampungan aspirasi jawaban sebanyak mungkin. Untuk materi dan redaksi rumusan diserahkan pada Tim Perumus. Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan seperlunya.
c) Bahtsul Masa’il kontemporer, yaitu bahtsu masail yang dimodifikasi. Dimana sebagian peserta yang dianggap mampu, diminta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan dalam bentuk makalah. 

C. Dalil-dalil yang mendukung adanya Tarjih dan Bahtsu Masa’il
Dalam kajian hukum Islam, fatwa adalah jawaban dari sebuah pertanyaan tentang persoalan keagamaan yang diajukan oleh umat Islam, baik perseorangan atau kelompok, kepada seorang ulama atau lembaga keagamaan. Yusuf Qardhawi mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan hukum syar’i tentang suatu masalah sebagai jawaban dari pertanyaan orang tertentu maupun tidak tertentu, baik individu maupun kelompok.
Bagi masyarakat kontemporer, fatwa menjadi sebuah kebutuhan, mengingat bahwa persoalan keagamaan semakin hari kian bertambah banyak dan kompleks. Sementara itu, sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an dan hadis) tidak memberikan prtunjuk secara tegas bagaimana mengatasi persoalan itu.

D. Contoh
Ketika menghadapi masalah yang serius kekinian yang di masa lalu itu belum pernah terjadi, maka Bahtsu Masail selalu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada para ahlinya. Di saaat akan menjatuhkan hukum asuransi, misalnya Lembaga Bahtsul Masail mengundang para praktisi asuransi. Begitu juga ketika akan membahas operasi kelamin, Lembaga Bahtsul Masail juga mengundang mereka yang terkait dengan masalah ini, seperti waria yang akan melakukan operasi, dokter yang akan menangani dan juga psikolog. Mereka pun datang dan menjelaskan seluk beluk hal tersebut secara terbuka di depan ulama.
Seperti halnya aborsi yang merupakan masalah Ijtihadiyah, yang karena al-Qur’an dan al-Hadis secaaa eksplisit tidak menyebutkan. Ada kesepakatan para ahli fikih pada larangan pengguguran kandungan setelah lewat bulan keempat kehamilan. Lewat 120 hari usia kehamilan diyakini oleh mereka sebagai telah terjadinya kehidupan manusia secara penuh, karena pada saat itu ruh ditiupkan kedalamnya sehingga penggugurannya dinyatakan haram dan merupakan tindakan pidana. Dalam hal ini mayoritas ahlli fikih menggunakan dasar keumuman firman Allah SWT. Surat al-An’am 151 dan al-Isra’ ayat 31 & 33. Meski secara hukum asalnya aborsi adalah haram, tetapi masih ada celah untuk mmerubah suatu pelarangan tersebut menjadi sebuah kebolehan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih. Dari kaidah ini dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan terpaksa diizinkan untuk melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa dilarang, karena apabila demikian akan menimbulkan kemudharatan.
























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tarjih adalah penentuan hukum dengan cara memperkuat sebuah dalil dengan dalil lain, berupa ayat al-Qur’an atau dalil hukum yang lain. Sedangkan Bahstul Masa’il adalah penentuan hukum dengan jalan musyawarah membahas masalah tersebut atau dengan penelitian kitab untuk menentukan hukum dari suatu masalah keagamaan yang belum ada dalil hukumnya.
Metode Tarjih ada 2 cara, yaitu tarjih baina an-nususkh  dan tarjih baina Qiyas. Sedangkan cara atau metode yang sering dilakukan dalam Bahstul Masa’il adalah perdebatan argumentative berdasarkan kitab, penampungan aspirasi jawaban sebanyak mungkin, dan sebagian peserta yang dianggap mampu, diminta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan dalam bentuk makalah.
Dalil yang memperbolehkan dilakukannya Tarjih  dan Bahstul Masa’il adalah dalail yang memperbolehkannya ijtihad para ulama juga didukung banyaknya permasalahan manusia yang semakin kompleks dan tidak ada dalil hukumnya dalam al-Qu’an dan al-Hadis, maka cara tersebut dibutuhkan untuk mengeluarkan fatwa.
Contoh penggunaan Tarjih  adalah dalam menentukan hukum aborsi menggunakan beberapa ayat al-Qur’an atau dengan metode tarjih baina an-Nusus.  Sedangkan contoh dari Bahstul Masa’il adalah dalam menentukan hukum operasi kelamin yang melibatkan para ahli bedah atau dokter, waria dan ulama yang semuanya memaparkan penjelasan mengenai hal tersebut, lalu bermusyawarah bersama untuk menentukan hukumnya.

B. Saran
Sebagai manusia yang terus mengalami permasalahan sepanjang hidupnya, hendaknya selektif dalam menentukan hukum sebuah perkara. Terbuka dan fleksibel terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan agama sebagaimana Islam adalah agama yang fleksibel. Sehingga tidak menimbulkan perpecahan anatara umat Islam hanya karena perbedaan pendapat terhadap hukum sebuah perkara.







DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Aba Doni, Studi Komparatif Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahstul Masail Nahdlatul Ulama Tentang Istinbath Hukum Merokok (Surakarta, 2013)
Chaq, Dliya’ul, ‘Sistem Diskusi Dan Metode Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail’, August, 19, 2015, 2015 <www.eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.co.id>
Eryzona, Husaein, ‘Aborsi Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’ (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009)
Nasih, Ahmad Munjin, ‘Lembaga Fatwa Keagamaan Di Indoneisa (Telaah Atas Lembaga Majlis Tarjih Dan Lajnah Bathsul Masail)’, De Jure, Jurnal Syariah Dan Hukum, 5 No.
Rahman, Imdadur Moh, ‘Pengaruh Metode Bahsul Masa’il Terhadap Motivasi Belajar Dan Peningkatan Hasil Belajar Siswa Bidang Fiqih Kelas XI PK Di MA Nurul Jadid Paiton Probolinggo’ (Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016)
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar