Minggu, 15 Juli 2018

KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
1.               Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi darah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya. Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu, dapat terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1279 M.
            Malik Al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil pebelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P . Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain.
            Dari segi peta politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.
            Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah selu. Ia masuk islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut.
            Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula. Kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
            Dari hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai suatu sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang berseberangan di muara sungai Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota samudera terletak agak lebih kepedalaman, sedangankan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang terakhir inilah terletak makam raja-raja.
            Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan pendapat Ibn Batutah, seorang penggembara terkenal asal Marokko, yang pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al-Zahir, putra Sultan Malik Al-Saleh. Menurut sumber-sumber cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim kepada raja Cina duta-duta yng disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman. Ibnu Batutah menyatakan bahawa Islam sudah hamper satu abad lamanya disiarkan di sana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya, mengikuti mazhab Syafi’i. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
            Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh panghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata uang dirham. Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa barag-barang dari Barat dikenakan pajak 6%. Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan social ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
            Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Coan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raj-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Mansur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah. Pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke 14 M dan 15 M.
            Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja dan urut-urutannya, sebagai berikut: Sultan Malik al-Saleh yang memerintah sampai tahun 1207 M, Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik Al-Zahir (1326-1345 M), Mansur Malik Al-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik Al-Zahir (1346-1383 M),  Zain Al-Abidin Malik Al-Zahir (1383-1405 M), Nahsariyah (1402-?), Abu Zaid Malik Al-Zahir (?-1455 M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M), Zain Al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik Al-Zahir (1501-1513 M), dan Sultan yang terakhir adalah Zain Al-Abidin (1513-1524).
            Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 Mdianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
           



2.      Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang mambangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagagan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri.
      Menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14 M. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah seorang di antaranya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qohar. Dalam menghadapai bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam Islam.
Puncak kekuasaan raja Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, tanah Gayo yang diIslamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang, bahkan meerka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Usmani yang jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.

Tidak seperti Iskandar Muda, yang memerintah dengan tangan besi, penggantinya, Iskandan Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetapi, kematian diikuti oleh masa-masa bencana. Tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699, beberapa wilayah taklukkannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, pemulihan kembali kesultanan tidak bnayak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke-18 M kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya, tanpa kepemimpnan dan kacau balau. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar