Kerajaan-kerajaan
Islam di Sumatra
1. Samudera Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan
kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh.
Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan
abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi darah-daerah pantai yang
pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan
seterusnya. Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu
didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari
nisan itu, dapat terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu, dapat
diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun
696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1279 M.
Malik Al-Saleh, raja pertama itu,
merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu,
dan juga hasil pebelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana
Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P.
Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P . Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan
lain-lain.
Dari segi peta politik, munculnya
kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan
maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan
Sumatera dan sekelilingnya.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum
menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah selu. Ia masuk islam berkat
pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian
memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di Gampong
Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut.
Merah Selu adalah putra Merah Gajah.
Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu
kemungkinan berasal dari kata sungkala
yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula.
Kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
Dari hikayat itu, terdapat petunjuk
bahwa tempat pertama sebagai suatu sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah
Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang
jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan
dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang berseberangan di muara
sungai Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota samudera terletak agak lebih
kepedalaman, sedangankan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang
terakhir inilah terletak makam raja-raja.
Pendapat bahwa Islam sudah
berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan
pendapat Ibn Batutah, seorang penggembara terkenal asal Marokko, yang pada
pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh
Sultan Malik Al-Zahir, putra Sultan Malik Al-Saleh. Menurut sumber-sumber cina,
pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim kepada
raja Cina duta-duta yng disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan
Sulaiman. Ibnu Batutah menyatakan bahawa Islam sudah hamper satu abad lamanya
disiarkan di sana. Ia meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, dan semangat
keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya, mengikuti mazhab Syafi’i. Berdasarkan
beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama
Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk
berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Dalam kehidupan perekonomiannya,
kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya
adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran
itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh
panghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai ada mata
uang dirham. Dikatakannya bahwa setiap kapal yang membawa barag-barang dari
Barat dikenakan pajak 6%. Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi
geografis dan social ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting
sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan
Indonesia, India, Cina dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat
penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu
merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai
tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Coan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah
raj-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama Sultan Alauddin,
Sultan Mansur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah. Pada tahun 1973 M,
ditemukan lagi 11 mata uang dirham diantaranya bertuliskan nama Sultan Muhammad
Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah, semuanya adalah raja-raja
Samudera Pasai pada abad ke 14 M dan 15 M.
Atas dasar mata uang emas yang
ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja dan urut-urutannya, sebagai
berikut: Sultan Malik al-Saleh yang memerintah sampai tahun 1207 M, Muhammad
Malik al-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik Al-Zahir (1326-1345 M), Mansur Malik
Al-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik Al-Zahir (1346-1383 M), Zain Al-Abidin Malik Al-Zahir (1383-1405 M),
Nahsariyah (1402-?), Abu Zaid Malik Al-Zahir (?-1455 M), Mahmud Malik al-Zahir
(1455-1477 M), Zain Al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik Al-Zahir (1501-1513
M), dan Sultan yang terakhir adalah Zain Al-Abidin (1513-1524).
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung
sampai tahun 1524 M. pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis
yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 Mdianeksasi oleh raja
Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah
pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
2. Aceh
Darussalam
Kerajaan
Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar.
Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini
sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad
ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M).
Dialah yang mambangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa
pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang
perdagagan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan
Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis
(1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang
sebelumnya dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka,
pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh.
Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
negeri.
Menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam
dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian agama
diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14 M. Menurutnya, kerajaan
Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar
Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat
Syah.
Ali
Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama
dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya
terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya
ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengirim
panglima-panglimanya, salah seorang di antaranya adalah Gocah, pahlawan yang
menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.
Peletak
dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
Al-Qohar. Dalam menghadapai bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan
persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam yang lain
di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani tersebut, Aceh dapat membangun
angkatan perangnya dengan baik. Aceh ketika itu tampaknya mengakui kerajaan
Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam
Islam.
Puncak
kekuasaan raja Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan
Barat Sumatera. Dari Aceh, tanah Gayo yang diIslamkan, juga Minangkabau. Hanya
orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang
datang, bahkan meerka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis.
Sultan Iskandar tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Usmani yang
jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerja sama dengan
musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
Tidak
seperti Iskandar Muda, yang memerintah dengan tangan besi, penggantinya,
Iskandan Tsani, bersikap lebih liberal, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh
terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan
pesat. Akan tetapi, kematian diikuti oleh masa-masa bencana. Tatkala beberapa
sultan perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699, beberapa wilayah
taklukkannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu,
pemulihan kembali kesultanan tidak bnayak bermanfaat, sehingga menjelang abad
ke-18 M kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya,
tanpa kepemimpnan dan kacau balau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar