BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hubungan dara (nasab) antara orang tua dan anak-anak adalah
hubungan sipil yang paling kuat dan tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan
lainnya. Nasab bagi seseorang merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena
dengan nasab, seseorang akan memiliki hubungan nasab kepada siapa yang
terhubung nasabnya. Juga karena berkitan dengan banyak hal seperti warisan,
wali, kafaah suami terhadap istri dan lain sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Pengertian Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah?
2.
Apa
Landasan Hukum Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah?
3.
Bagaimana
Dasar Penetapan Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
Pengertian Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah
2.
Mengetahui
Landasan Hukum Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah
3.
Mengetahui
Dasar Penetapan Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Nasab
Kata
“nasab” berasal dari bahasa Arab, yang antara lain berarti keturunan. Secara
istilah nasab adalah keturunan tau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik
ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan
seterusnya), maupun menyamping (saudara, paman, dan lain-lain. [1]
2.
Hadlanah
Hadhanah
diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau
merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan
anak bagi orang yang berhak untuk memeharanya. Atau bisa juga diartikan
memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri
karena tidak mampu mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila.[2]
3.
Rada’ah
Radha’ah
(Penyusuan) dari segi bahasa adalah yaitu perbuatan menghisap dan meminum
susunya. Adappun dari segi istilah adalah perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan susu seorang perempuan atau susu yang masuk kedalam perut dan
mengesani otak seorang anak. [3]
Syarat
Radha’ah: adanya air susu, air susu masuk kedalam perut, bayi belum berusia dua
tahun. Rukun Radha’ah: anak yang menyusu, perempuan yang menyusui, kadar air
susu minimal 3 kali isapan. Orang yang menjadi mahram susuan: ibu susuan,
saudara perempuan dari sesusuan, anak perempuan, saudara dari ayah susuan,
saudara perempuan dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak
perempuan dari saudara perempuan.[4]
B.
Landasan
Hukum
1.
Nasab
QS. An-Nisa’ ayat 11
QS. Al-Furqan ayat 54
2.
Hadlanah
Hadlanah
hukumnya wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam
keselamatannya. Karena itu, hadlanah hukumnya wajib sebagaimana juga
wajibnya memberi nafkah kepadanya.[5]
3.
Rada’ah
QS. Al-Baqarah ayat 233:
C.
Prinsip
Dasar Penetapan
1.
Nasab
Dalam
akad perkawinan ini terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yang dikenal
dengan rukun perkawinan. Di setiap unsur (rukun) itu terdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhui. Dalam kaitan inilah, nasab seseorang harus ditentukan.
Tanpa diketahui nasab seseorang dia akan mengalami kesulitan melakukan
perkawinan dengan orang lain. Demikian juga untuk kepentingan lainnya, seperti
dalam soal penentuan hal dan kewajiban kepada seseorang anak bagi orang dewasa
dan penentuan hal seseorang anak aau sebaliknua hal seseorang dewasa dari
seorang anak dalam soal warisan.[6]
Rasulullah
SAW bersabda melalui hadia Said bin Abi Waqash: “barangsiapa yang mengakui
seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedang ia tahu itu bukan ayahnya, maka
diharamkan baginya surga,” (HR. Bukhari)
Tetapnya
nasab seorang anak kepada ibunya adalah dikarenakan kelahira (wiladah), baik
secara syariat maupun tidak. Bahwa
“sebab-sebab ditetapkannya nasab seorang anak kepada ayahnya, yaitu: perkawinan
yang sah (al-zawaj al-shahih), pernikahan yang rusak (al-zawaj
al-fasid), dan persetubuhan subhat (al-wath’u bil al-syubhat).”[7]
Cara
penetapan nasab. Nasab seorang anak yang dilahirkan dapat ditetapkan kepada
ayahnya melalui 3 cara. Kedua, pengakuan nasab atau pengakuan anak, ikrar bi
al-nasab ada dua macam, yaitu: (1) pengakuan nasab untuk diri sendiri; (2)
pengakuan yang mencakup untuk orang lain. Ketiga, bukti. Bukti merupakan
argumentasi transitif yang dampaknya tidak hanya terbatas pada terdakwa saja,
akan tetapi dapat ditetapkan dalam haknya maupun hak lainnya.[8]
Akibat
yang timbul dari hubungan nasab:
Pertama, dalam hal waris. nasab atau keturunan bisa manjadi sebab
beralihnya harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Kedua,
al-wala’ yaitu kekerabatan karena sebab hukum.Ketiga, hubungan mahram.
Mahram adalah orang yang haram untuk dininkahi karena adanya sebab
keturunan, perususan, dan pernikahan dalam syariat Islam.[9]
Deoxirybo Nucleic Acid (DNA) bukan
wacana baru dalam lapangan sainis, ia merupakan bahan kimia utama yang
berfungsi sebagai penyusun gen yang menjadi unit penurunan sifat (hereditas)
yang meneruskan informasi biologis dari induk kepada keturunyannya. Dalam
perkembangannya Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan
pribadi dan hukum antara lain: penentuan nasab, perwalian anak, adopsi,
warisan, dan masalah forensic.[10]
Adapun metode yang digunakan dalam
menetapkan nasab ialah: (1)al-Firasy (al-aqd); (2) pengakuan tentang
nasab; (3) al-Bayyinah (persaksian); (4) al-Qiyafah (kesamaan
factor fisik dan psikis).[11]
2.
Hadlonah
Adapun yang berhak mengurus hadhanah, para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hadhanah
adalah hak nya hadhin (orang yang memelihara) karena ia berhak
menggugurkan haknya meski tanpa pengganti. Jika hadhanah itu mnejadi hak
hadhin, tentunya hadhanah tidak akan gugur dengan penggugurannya. Adapun
menurut pendapat ulama yang ahli dalam bidangnya, hadhanah itu berkaitan
dengan tiga hak secara bersamaan, yaitu hak orang yang memelihara, hak orang
yang dipelihara, dan hak ayah atau orang yang bertindak selaku wakilnya. Jika
ketiganya empu digabungkan maka wajib dilakukan. Namun jika bertentangan maka
yang didahulukan adalah hal orang yang dipelihara.[12]
Urutan
tingkatan orang yang berhak mengurus hadhanah, dalam hal ini mereka
lebih mengedepankan kaum wanita untuk mengurus hadhanah anak karena
mereka lebih lembut, kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Kemudian dari
mereka dipilihlah salah satu yang paling dekat dengan anak yang akan
dipelihara. Setelah itu baru memilih orang yang berhak memelihara dari kalangan
laki-laki.
a.
Orang
yang berhak mengurus hadhanah dari kaum perempuan:
(1)
Ibu
lebih berhak mengurus hadhanah anaknya meski sudah bercerai atau
ditinggal mati suaminya, kecuali jika ia murtad, tidak dapat dipercaya, dan
jahat sehingga menyia-nyiakan anak.
(2)
Urutan
kedua setelah ibu dalam hal mengurus anak adalah ibunya ibu atau nenek dari ibu
karena nenek punya emosional yang sama seperti ibu.
(3)
Urutan
selanjutnya yang berhak mengurus anak adalah saudara perempuan dari anak yang
dipelihara.
(4)
Urutan
selanjutnya adalah bibi dari ibu (bibinya anak yang dipelihara).
(5)
Ururtan
selanjutnya adalah putri-putri dari saudara perempuan, kemudian putri-putri
dari saudara laki-laki.
(6)
Urutan
selanjutnya bibi dari jalur ayah sebagai orang yang berhak memelihara anak.
b.
Orang
yang berhak mengurus hadhanah dari kaum laki-laki:
Jika anak yang
hendak dipelihara tidak memeiliki kerabat wanita yag berhak memeliharanya
seperti dalam urutan di atas, hak mengasuh dan memelihara dilimpahkan kepada
kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan bagian warisnya mahram yaitu ayah,
kakek sampai ke atas, kemudian saudara anak-anaknya sampai ke bawah. Kemudian
para paman dan anak-anaknya. Akan tetapi, tidak menyerahkan putri yang canrik
kepada leleki yang bukna mahram seperti anak paman misalnya,karena ia tidak
berhak untuk memelihara putri yang cantik menurut kesepakatan ulama karena
menjaga agar tidak terjadi fitnah, namun ia boleh memelihara bayi.[13]
3.
Rada’ah
Suatu
kasus bisa disebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung
konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku apabila tiga unsur ini bisa
ditemukan padanya. Dan apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka ar-radha’ah
asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak
berlaku padanya. Adapun perempuan yang sudah baligh atau juga belum,
seudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau
tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radha’ah
asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang
disusuinya.
Hal-hal
yang menetapkan Radha’ah :
a.
Ikrar
, yaitu pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersama atau
salah satu dari mereka. Apabila ikrar dilakukan sebelum menikah, maka keduanya
boleh menikah dan apabila mereka menikah maka akadnya batal. Ketika mereka
memilih enggan untuk berpisah, maka hakim berhak memaksa mereka untuk berpisah.
b.
Persaksian,
yaitu kesaksian yang dilakukan orang yang mengetahui secara pasti bahwa
laki-laki adan wanita sepersusuan
Menurut Yusuf Qardhawi, wajur tidaklah menimbulkan hukum
mahram dan tidak pula mengaharamkan perkawinan jika si anak diberi minum air
susu si perempuan yang dicampur dengan obat karena yan demikian itu bukan
penyusuan sebab penyusuan itu ialah yang dihisap mellui payudara. Al-Ustadz
Asy-Syeikh Ash-Shibrasi, ulama besar Al-Azhar Mesir, beliau menyatakan bahwa
hubungan mahram yang diakibatkan karena persusuan itu harus melibatkan saksi dua
orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita. Bila
tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara ibu yang mneyusui dengan anak bayi tersebut.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR RUJUKAN
Al-Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997)
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema
Insani, 2013)
Harlina, Yuni, ‘Status Nasab Anak Dari Berbagai Latar Belakang Kelahiran
(Ditinjau Menurut Hukum Islam)’, Hukum Islam, XIV N
Jamil, M, ‘Nasab Dalam Perspektif Tafsir Ahkam’, Ahkam, XVI N
Lestari, Siti Andina, ‘Konsep Radha’ah (Penyusuan) Terhadap Pola Asuh Anak
Batita’, Prosiding Penelitian SPeSIA, 2015
Tamimi, Muh., ‘Tes DNA Dalam Menetapkan Hubungan Nasab’, Istinbath,
Jurnal Hukum Islam, Vol. 13 No
[1] Yuni Harlina, ‘Status Nasab Anak Dari Berbagai Latar
Belakang Kelahiran (Ditinjau Menurut Hukum Islam)’, Hukum Islam, XIV N, p. 66.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2013), p. 59.
[3] Siti Andina Lestari, ‘Konsep Radha’ah (Penyusuan)
Terhadap Pola Asuh Anak Batita’, Prosiding
Penelitian SPeSIA, 2015, p. 17.
[4] Lestari, p. 17.
[5] Az-Zuhaili, p. 60.
[6] Harlina, pp. 66–67.
[7]M Jamil, ‘Nasab Dalam Perspektif Tafsir Ahkam’, Ahkam, XVI N, p. 126.
[8] Jamil, p. 128.
[9] Jamil, p. 129.
[10] Muh. Tamimi, ‘Tes DNA Dalam Menetapkan Hubungan
Nasab’, Istinbath, Jurnal Hukum Islam,
Vol. 13 No, p. 83.
[11] Tamimi, pp. 90–91.
[12] Az-Zuhaili, pp. 60–61.
[13] Az-Zuhaili, pp. 61–64.
[14] Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), p. 785.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar