Minggu, 15 Juli 2018

FIQIH KELUARGA "NASAB, HADLONAH, DAN RADHAAH"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hubungan dara (nasab) antara orang tua dan anak-anak adalah hubungan sipil yang paling kuat dan tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan lainnya. Nasab bagi seseorang merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena dengan nasab, seseorang akan memiliki hubungan nasab kepada siapa yang terhubung nasabnya. Juga karena berkitan dengan banyak hal seperti warisan, wali, kafaah suami terhadap istri dan lain sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah?
2.      Apa Landasan Hukum Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah?
3.      Bagaimana Dasar Penetapan Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah
2.      Mengetahui Landasan Hukum Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah
3.      Mengetahui Dasar Penetapan Nasab, Hadlanah, dan Rada’ah













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
1.      Nasab
Kata “nasab” berasal dari bahasa Arab, yang antara lain berarti keturunan. Secara istilah nasab adalah keturunan tau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun menyamping (saudara, paman, dan lain-lain. [1]
2.      Hadlanah
Hadhanah diambil dari kata al-hidhnu yang artinya samping atau merengkuh ke samping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeharanya. Atau bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mampu mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila.[2]
3.       Rada’ah
Radha’ah (Penyusuan) dari segi bahasa adalah yaitu perbuatan menghisap dan meminum susunya. Adappun dari segi istilah adalah perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan susu seorang perempuan atau susu yang masuk kedalam perut dan mengesani otak seorang anak. [3]
Syarat Radha’ah: adanya air susu, air susu masuk kedalam perut, bayi belum berusia dua tahun. Rukun Radha’ah: anak yang menyusu, perempuan yang menyusui, kadar air susu minimal 3 kali isapan. Orang yang menjadi mahram susuan: ibu susuan, saudara perempuan dari sesusuan, anak perempuan, saudara dari ayah susuan, saudara perempuan dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan.[4]
B.     Landasan Hukum
1.      Nasab
QS. An-Nisa’ ayat 11
QS. Al-Furqan ayat 54
2.      Hadlanah
Hadlanah hukumnya wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya. Karena itu, hadlanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya memberi nafkah kepadanya.[5]
3.      Rada’ah
QS. Al-Baqarah ayat 233:
C.     Prinsip Dasar Penetapan
1.      Nasab
Dalam akad perkawinan ini terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yang dikenal dengan rukun perkawinan. Di setiap unsur (rukun) itu terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhui. Dalam kaitan inilah, nasab seseorang harus ditentukan. Tanpa diketahui nasab seseorang dia akan mengalami kesulitan melakukan perkawinan dengan orang lain. Demikian juga untuk kepentingan lainnya, seperti dalam soal penentuan hal dan kewajiban kepada seseorang anak bagi orang dewasa dan penentuan hal seseorang anak aau sebaliknua hal seseorang dewasa dari seorang anak dalam soal warisan.[6]
Rasulullah SAW bersabda melalui hadia Said bin Abi Waqash: “barangsiapa yang mengakui seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedang ia tahu itu bukan ayahnya, maka diharamkan baginya surga,” (HR. Bukhari)
Tetapnya nasab seorang anak kepada ibunya adalah dikarenakan kelahira (wiladah), baik secara syariat maupun  tidak. Bahwa “sebab-sebab ditetapkannya nasab seorang anak kepada ayahnya, yaitu: perkawinan yang sah (al-zawaj al-shahih), pernikahan yang rusak (al-zawaj al-fasid), dan persetubuhan subhat (al-wath’u bil al-syubhat).[7]
Cara penetapan nasab. Nasab seorang anak yang dilahirkan dapat ditetapkan kepada ayahnya melalui 3 cara. Kedua, pengakuan nasab atau pengakuan anak, ikrar bi al-nasab ada dua macam, yaitu: (1) pengakuan nasab untuk diri sendiri; (2) pengakuan yang mencakup untuk orang lain. Ketiga, bukti. Bukti merupakan argumentasi transitif yang dampaknya tidak hanya terbatas pada terdakwa saja, akan tetapi dapat ditetapkan dalam haknya maupun hak lainnya.[8]
Akibat yang timbul dari hubungan nasab:
Pertama, dalam hal waris. nasab atau keturunan bisa manjadi sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Kedua, al-wala’ yaitu kekerabatan karena sebab hukum.Ketiga, hubungan mahram. Mahram adalah orang yang haram untuk dininkahi karena adanya sebab keturunan, perususan, dan pernikahan dalam syariat Islam.[9]
Deoxirybo Nucleic Acid (DNA) bukan wacana baru dalam lapangan sainis, ia merupakan bahan kimia utama yang berfungsi sebagai penyusun gen yang menjadi unit penurunan sifat (hereditas) yang meneruskan informasi biologis dari induk kepada keturunyannya. Dalam perkembangannya Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain: penentuan nasab, perwalian anak, adopsi, warisan, dan masalah forensic.[10]
Adapun metode yang digunakan dalam menetapkan nasab ialah: (1)al-Firasy (al-aqd); (2) pengakuan tentang nasab; (3) al-Bayyinah (persaksian); (4) al-Qiyafah (kesamaan factor fisik dan psikis).[11]
2.      Hadlonah
Adapun  yang berhak mengurus hadhanah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hadhanah adalah hak nya hadhin (orang yang memelihara) karena ia berhak menggugurkan haknya meski tanpa pengganti. Jika hadhanah itu mnejadi hak hadhin, tentunya hadhanah tidak akan gugur dengan penggugurannya. Adapun menurut pendapat ulama yang ahli dalam bidangnya, hadhanah itu berkaitan dengan tiga hak secara bersamaan, yaitu hak orang yang memelihara, hak orang yang dipelihara, dan hak ayah atau orang yang bertindak selaku wakilnya. Jika ketiganya empu digabungkan maka wajib dilakukan. Namun jika bertentangan maka yang didahulukan adalah hal orang yang dipelihara.[12]
Urutan tingkatan orang yang berhak mengurus hadhanah, dalam hal ini mereka lebih mengedepankan kaum wanita untuk mengurus hadhanah anak karena mereka lebih lembut, kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Kemudian dari mereka dipilihlah salah satu yang paling dekat dengan anak yang akan dipelihara. Setelah itu baru memilih orang yang berhak memelihara dari kalangan laki-laki.
a.       Orang yang berhak mengurus hadhanah dari kaum perempuan:
(1)   Ibu lebih berhak mengurus hadhanah anaknya meski sudah bercerai atau ditinggal mati suaminya, kecuali jika ia murtad, tidak dapat dipercaya, dan jahat sehingga menyia-nyiakan anak.
(2)   Urutan kedua setelah ibu dalam hal mengurus anak adalah ibunya ibu atau nenek dari ibu karena nenek punya emosional yang sama seperti ibu.
(3)   Urutan selanjutnya yang berhak mengurus anak adalah saudara perempuan dari anak yang dipelihara.
(4)   Urutan selanjutnya adalah bibi dari ibu (bibinya anak yang dipelihara).
(5)   Ururtan selanjutnya adalah putri-putri dari saudara perempuan, kemudian putri-putri dari saudara laki-laki.
(6)   Urutan selanjutnya bibi dari jalur ayah sebagai orang yang berhak memelihara anak.
b.      Orang yang berhak mengurus hadhanah dari kaum laki-laki:
Jika anak yang hendak dipelihara tidak memeiliki kerabat wanita yag berhak memeliharanya seperti dalam urutan di atas, hak mengasuh dan memelihara dilimpahkan kepada kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan bagian warisnya mahram yaitu ayah, kakek sampai ke atas, kemudian saudara anak-anaknya sampai ke bawah. Kemudian para paman dan anak-anaknya. Akan tetapi, tidak menyerahkan putri yang canrik kepada leleki yang bukna mahram seperti anak paman misalnya,karena ia tidak berhak untuk memelihara putri yang cantik menurut kesepakatan ulama karena menjaga agar tidak terjadi fitnah, namun ia boleh memelihara bayi.[13]
3.      Rada’ah
Suatu kasus bisa disebut ar-radha’ah asy-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku apabila tiga unsur ini bisa ditemukan padanya. Dan apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka ar-radha’ah asy-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak berlaku padanya. Adapun perempuan yang sudah baligh atau juga belum, seudah menopause atau juga belum, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radha’ah asy-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya.
Hal-hal yang menetapkan Radha’ah :
a.       Ikrar , yaitu pengakuan persusuan dari pihak laki-laki dan wanita secara bersama atau salah satu dari mereka. Apabila ikrar dilakukan sebelum menikah, maka keduanya boleh menikah dan apabila mereka menikah maka akadnya batal. Ketika mereka memilih enggan untuk berpisah, maka hakim berhak memaksa mereka untuk berpisah.
b.      Persaksian, yaitu kesaksian yang dilakukan orang yang mengetahui secara pasti bahwa laki-laki adan wanita sepersusuan
Menurut Yusuf Qardhawi, wajur tidaklah menimbulkan hukum mahram dan tidak pula mengaharamkan perkawinan jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat karena yan demikian itu bukan penyusuan sebab penyusuan itu ialah yang dihisap mellui payudara. Al-Ustadz Asy-Syeikh Ash-Shibrasi, ulama besar Al-Azhar Mesir, beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena persusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita. Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang mneyusui dengan anak bayi tersebut.[14]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran

DAFTAR RUJUKAN
Al-Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2013)
Harlina, Yuni, ‘Status Nasab Anak Dari Berbagai Latar Belakang Kelahiran (Ditinjau Menurut Hukum Islam)’, Hukum Islam, XIV N
Jamil, M, ‘Nasab Dalam Perspektif Tafsir Ahkam’, Ahkam, XVI N
Lestari, Siti Andina, ‘Konsep Radha’ah (Penyusuan) Terhadap Pola Asuh Anak Batita’, Prosiding Penelitian SPeSIA, 2015
Tamimi, Muh., ‘Tes DNA Dalam Menetapkan Hubungan Nasab’, Istinbath, Jurnal Hukum Islam, Vol. 13 No




[1] Yuni Harlina, ‘Status Nasab Anak Dari Berbagai Latar Belakang Kelahiran (Ditinjau Menurut Hukum Islam)’, Hukum Islam, XIV N, p. 66.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2013), p. 59.
[3] Siti Andina Lestari, ‘Konsep Radha’ah (Penyusuan) Terhadap Pola Asuh Anak Batita’, Prosiding Penelitian SPeSIA, 2015, p. 17.
[4] Lestari, p. 17.
[5] Az-Zuhaili, p. 60.              
[6] Harlina, pp. 66–67.
[7]M Jamil, ‘Nasab Dalam Perspektif Tafsir Ahkam’, Ahkam, XVI N, p. 126.
[8] Jamil, p. 128.
[9] Jamil, p. 129.
[10] Muh. Tamimi, ‘Tes DNA Dalam Menetapkan Hubungan Nasab’, Istinbath, Jurnal Hukum Islam, Vol. 13 No, p. 83.
[11] Tamimi, pp. 90–91.
[12] Az-Zuhaili, pp. 60–61.
[13] Az-Zuhaili, pp. 61–64.
[14] Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), p. 785.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar