ALIRAN EKSISTENSIALISME
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan”
Dosen Pengampu:
Bustanul Yuliani, M.Pd.I
Disusun oleh:
Dandi Alfianto 210317232
Mualifah Khoirunnisa 210317316
Sofin Hayyi Fanani 210317337
Kelas/semester:
PAI J/03
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengkajian filosofis dalam pendidikan sangat diperlukan, karena membantu memberikan informasi tentang hakikat manusia. Sehingga kajian tentang filsafat sangat diperlukan untuk menentukan tujuan dari pendidikan yang dilakukan. Kajian filosofis juga memberikan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, nilai-nilai budaya, sumber pengetahuan itu diperoleh dan cara bagaimana manusia mendapatkan nilai tersebut.
Pendidikan diharapkan tidak hanya menempatkan manusia sebagai produk, tetapi sebagai subyek yang menghasilkan produk. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori neoklasik, yaitu suatu teori yang menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi, dimana penguasaan IPTEK bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan penguasa. Lembaga pendidikan yang banyak berkembang saat ini adalah model pendidikan yang dikembangkan berdasarkan model ekonomik untuk menghasilkan/menciptakan manusia pekerja (abdi dalem) yang sudah disetel menurut tata nilai ekonomi yang berlatar (kapitalis) sehingga tidak mengehrankan jika output pendidikan kita adalah manusia yang pencari kerja dan tidak berdaya. Bukan pencipta pekerjaan. Dalam psikologi pendidikan ditekankan bahwa peran guru tidak begitu saja menyalurkan informasi kepada peserta didik, melainkan guru memberi suasana belajar yang mampu membangun pengetahuan peserta didik. Sehingga peserta didik secara aktif menemukan ilmu pengetahuan baru melalui pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sehingga pendidikan yang berdasarkan aliran eksistensialisme ini berharap mampu mewujudkan pendidikan yang membawa peserta didiknya untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalaman nyata. Atau teori belajar rekonstruksivisme, dimana sumber pengetahuan peserta didik adalah dengan menggabungkan pengalaman lama dengan pengalaman baru yang diperolehnya. Dengan begitu peserta didik secara aktif membangun pengetahuannya. Dan paham eksistensialisme bahwa yang nyata adalah yang dapat kita alami.
Berdasarkan gambaran tersebut, perlu dikaji lebih lanjut tentang eksistensialisme dengan subjektivitas pengalamannya dalam pendidikan. Juga implementasi eksistensialisme dalam dunia pendidikan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Aliran Eksistensialisme?
2. Bagaimana Sejarah Lahirnya Aliran Eksistensialisme?
3. Siapa Tokoh dari Aliran Eksistensialisme?
4. Bagaimana Implementasi Paham Aliran Eksistensialisme dalam Pendidikan?
5. Bagaimana Konsep Aliran Eksistensialisme dalam Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui Pengertian Aliran Eksistensialisme
2. Mengetahui Sejarah Lahirnya Aliran Eksistensialisme
3. Mengetahui Tokoh dari Aliran Eksistensialisme
4. Mengetahui Implementasi Paham Aliran Eksistensialisme dalam Pendidikan
5. Mengetahui Konsep Aliran Eksistensialisme dalam Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EKSISTENSIALISME
Kata eksistensialisme berasal dari kata eks = ke luar dan sistensi atau sisto = bediri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif, baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan seta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Eksistensialisme, dalam pengertian kita, adalah sebuah doktrin yang benar-benar memungkinkan hidup manusia menjadi mungkin. Sebuah doktrin yang mengafirmasikan bahwa setiap kebenaran dan tindakan menyatakan baik suatu lingkungan maupun suatu subjektivitas manusiawi.
Kedua jenis eksistensialis ini adalah eksistensialis Kristen dan eksistensialis Atheis. Diantara eksistensialis Kristen, Jaspers dan Gabriel Marcel. Di antara eksistensialis Atheis, kita dapat menyebutnya Heidegger. Bahwa kedua-duanya sama-sama meyakini bahwa eksistensi mendahului esensi. Efek eksistensialisme yang pertama adalah bahwa filsafat ini menempatkan manusia pada posisinya sebagai dirinya sendiri, dan meletakkan keseluruhan tanggung jawab hidupnya sepenuhnya di pundak manusia itu sendiri.
Aliran yang ini berpendirian bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang konkrit, yakni manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.
Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga berada di dunia. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu: manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut objek.
Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Eksistensi berasal dari bahasa Yunani yang berarti berdiri keluar. Sendangkan menurut KBBI, eksistensi berarti keberadaan, yaitu bagaimana manusia berada dan menjadi subyek di dunia ini. Paham eksistensi menghendaki manusia mampu bertanggung jawab dan bebas dalam menempatkan dirinya terhadap lingkungannya. Sehingga keberadaan manusia dapat diakui keberadaannya. Aliran eksistensi menekankan pada pengalaman nyata manusia yang mampu membentuk pengetahuan dalam diri manusai itu sendiri.
B. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN EKSISTENSIALISME
Pelopornya adalah Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger, J. P Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel.
Materialism dan idealism yang secara lengsung atau tidak langsung dipandang melahirkan eksistensialisme.
1. Pandangan Materialisme tentang Manusia
Ajaran etik paham ini hanya mementingkan kebahagiaan yang bersifat fisik semata-mata. Tiap persoalan, benda adalah hal yang primer bagi keyakinan alian-aliran tersebut, yaitu segala sesuatu harus dikembalikan kepada benda. Pikiran, gerak-gerik manusia, cinta, rasa keadilan, dan seluruh ungkapan manusia semuanya dipecahkan dalam proses-proses benda atau materi. Dan menjadi suatu hal yang tak lebih daripada sekedar mesin. Gambaran manusia itu pun semata-mata proses dari benda yang mekanis sifatnya, dan jiwa pun tak lain adalah cetusan dari jasmani.
Feuerbach ataupun Hegel, tidak mengakui adanya Tuhan. Dia melihat betapa sifat egoisnya manusia dalam menjelmakan keinginan-keinginan yang ditimbulkan oleh bahaya-bahaya kehidupannya, kemudian mencari perlindungan untuk dapat merealisir keinginan tersebut. Dan perlindungan itulah yang dinamakan dengan “tuhan”. Akan tetapi “tuhan” itu tak lain dari refleksi dari dirinya sendiri yang dianggapnya sebagai yang lain.
Bukannya kesadaran manusia yang menentukan wujudnya, akan tetapi sebaliknya, wujud socialyna lah yang menentukan kesadaran mereka. Kalimat ini dengan jelas dapat dipahami; bagaimana hakikat kesadaran manusia atau eksistensinya sangat tergantung dan ditentukan oleh materi atau keberadaan materinya.
2. Pandangan Idealisme tentang Manusia
Dari berbagai sebab timbulnya Eksistensialisme, salah satunya dalah reaksi keras terhadap Idealisme. Berlainan dengan materialism, aliran (idealism) ini memandang yang ada hanyalah cita-cita, Roh dan Akal. Idealism memandang dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk rohani. Roh itu adalah yang terpenting dan menguasai, sedangkan dalam kenyataannya ia berupa kebudayaan. Hegel pun memandang bahwa manusia sebagai makhluk rohani, wujud manusia terletak di dalam rohnya.
Manusia dapat merealisir dirinya yang sudah terserap dalam Roh Absolut, kemudia ia mendapatkan bagian dari partisipasinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa idealism pada umunya menganggap Roh sebagai “kenyataan yang benar”. Pertama-tama manusia itu merupakan makhluk rohani.
3. Eksistensialisme sebagai Suatu Reaksi
Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap idealism dan materialism dalam memandang manusia. Eksistensi adalah label khusus yang hanya dikenakan kepada manusia. Dengan keluar dari diri, manusia menemukan dirinya. Suku kata “ek” menunjukkan semuanya itu, dengan demikian, manusia dalam menjalani eksistensinya tidak statis, melainkan dinamis, selalu ingin mengatasi imanensinya, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri mengenai apa yang ia jalankan. Suatu filsafat yang memusatkan kepada analisa eksistensi manusia dan menitikberatkan kebebasan, tanggung jawab, dan keterasingan individu.
Nampak bahwa Eksistensialisme adalah filsafat yang memberi penekanan pada eksistensi yag mendahului essensi. Karena kenyataan manusia sebagai eksistensi adalah subyek yang memiliki harkat dan martabatnya yang tinggi, dan karenanya manusia mempertahankan orientasi pribadinya. Di sini jelas sekali Marx dan idealismenya Hegel mendapatkan rekasi keras, karena keduanya hanya memandang manusia menurut materi atau ide dalam rumusan dan sistem-siste umum. Di samping itu materialisme hanya ingin melihat subyek (manusia) sebagai obyek, padahal dunia ini, karena adanya subyek, hanyalah obyek. Dengan penolakan sikap obyektif tersebut, Eksistensialisme memandang manusia sebagai manusia subyektif.
Bereksistensi adalah bertindak dalam hidup yang konkret, bukan sekedar dipikirkan secara obyektif, atau terumus dalam sistem dan konsep, akan tetapi sebagaimana dihayati, tidak ada orang yang dapat mengganti tempat individu untuk bereksistensi. Kebebasan, ketakutan, kecemasan, rasa berdosa dan cinta kasih, keterasingan dari Tuhan, keputusasaan, kesemuanya adalah merupakan luapan yang eksistensiil. Jadi Eksistensialisme betul-betul berusaha mengungkapkan manusia yang utuh sebagai eksistensi yang mendahului essensinya, sebab eksistensi manusia itu bukanlah selsai-mantap, akan tetapi sebaliknya, terus mengada.
Eksistensialisme memandang makhluk manusia adalah yang paling sadar waktu. Masa lalu, masa depan dan masa kini adalah tunggal dalam penghayatannya. Bahkan yang lebih khas masa kini dengan segala kondisi perangkatnya dikonstitusikan sebagai potensi bagi masa depannya yang diselipi dengan kekuatiran dan kecemasan. Maka Eksistensialisme pada umunya menyadari betul posisi manusia dalam kesejarahannya, yang melibatkan rentangan eksistensial antara kekuatan konservatif yang berasal dari masa lalunya, serta kekuatan prograsif yang berasal dari proyeksi masa depan. Jadi masa lalu dan itu berarti sudah menjadi essensi.
Dan diantara sebab yang mendorong munculnya aliran Eksistensialisme, adalah keadaan perang dan situasi Eropa Barat pada saat itu, sehingga memaksakan dirinya tampil menjawab pandangan tentang manusia. Memaksa orang untuk membuka mata dan menatap realitas, bahwa eksistensi manusia serta dunianya tidaklah merupakan kenyataan yang mantap.
Aliran eksistensialisme lahir dari kesalahan materialisme yang menganggap manusia bukan sebagai keutuhan wujud. Pandangan materialisme itu belum mencakup manusia secara keseluruhan. Pandangan tentang manusia seperti pada materialisme itu akan membawa konsekuensi yang amat penting. Lahirnya eksistensialisme merupakan salah satu dari konsekuensi itu.
Dilihat dari sejarahnya Eksistensialisme lahir akibat dari penolakan aliran materialism yang memandang manusis dari segi materinya saja, dan juga aliran idealism yang menggap manusia hanyalah ide-ide saja. Sehingga aliran eksistensialisme hadir membawa anggapan bahwa manusia tidak hanya sekedar itu, manusia merupakan wujud yang utuh dan terus mengalami perubahan. Manusia dalam aliran eksistensialisme merupakan subyek yang merealisasikan dirinya terhadap lingkungannya, bukan hanya ide-ide atau konsep. Aliran eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh paham phenomenology, yaitu paham yang menganggap penting adanya pengalaman nyata yang dilalui manusia. Sehingga paham eksistensialisme menganggap penting sejarah demi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan sejarah manusia bisa memperoleh pelajaran baru bagi hidupnya, dan dapat terus eksis dalam kehidupannya.
C. TOKOH ALIRAN EKSISTENSIALISME
Diantara tokoh filsafat eksistensialisme yaitu:
1. Martin Heidegger (1905)
Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia disebut desein (berada di sana, di tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada. Desein manusia disebut juga eksistensi.
Keberadaan manusia (desein) juga mitsein (berada bersama-sama). Karena itu, manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar pada tiga hal asasi, yaitu: befindichkeit (kepekaan), Verstehen (memahami), dan rede (kata-kata, bicara). Kepekaan diungkapkan dalam bentuk perasaan: senang, kecewa atau takut. Yang dimaksud dengan mengerti atau memahami ialah bahwa manusia yang dengan kesadaran akan beradanya diantara keberadaan lain-lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya bagi memberi arti dan manfaat pada dunia dalam kemungkinan-kemungkinannya. Bicara adalah asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi bagi manusia.
2. J.P. Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun 1980 M. Menurut Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari tetumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya. Manusia mempunyai ciri (eksistensi) yang membuat ia berakal (esensi). Jadi, hakikat manusia mempunya ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusi berbeda dari makhluk lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya.
3. Gabriel Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses) atau being and becoming. Ia selalu menghadapi objek yang harus diusahakan, seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain. Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak berada. Oleh karena itu manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut pada kematian. Namun sebenarnya kemenangan kematian itu hanya semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk mengatasi kematian. Didalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian bahwa ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos kematian. Adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu.
Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjukkan adanya Engkau Yang Tertinggi (Tci Supreme), yang tidak dapat dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah yang hanya dapat ditemukan didalam penyerahan seperti halnya kita menemukan Engkau atas sesama kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan dan partisipasi berada dalam sejati.
Paling sedikit ada empat pemikiran yang jelas dapat disebut flsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Beberapa ciri-ciri yang sama yang dimiliki di antaranya:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanitis.
2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencenakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3. Di dalam flsafat eksistesialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusi aadalah realitas yang belum selesai, yanng masih harus dibentuk. Padahakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terutama kepada sesame manusia.
4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalaman eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang
bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
Dari 3 tiga tokoh aliran eksistensialisme tersebut berpendapat bahwa:
Martin Heidegger: manusia haru keluar dari dinya sendiri, dan berada diantara yang bukan dirinya. Keberadaan manusai diantara yang bukan dirinya tersebut yang disebut eksistensi.
J.P. Sartre: eksistensi manusia mendahului essensinya. Hal tersebut membuat manusai berbeda dengan tumbuhan maupun hewan. Eksistensi manusia tersebut menjadi ciri bagi manusia untuk berada diantara yang lain. Jadi eksistensi membahas tentang bagaimana manusai mampu berada atau menepatakan dirinya diantara yang lainnya.
Gabriel Marcel: tujuan akhir kehidupan manusia adalah kematian. Manusia dalam hidupnya mempunyai tumpuan harapan yaitu Tuhan. Manusia memiliki kebebasan otonom, karena manusia memiliki Tuhan, sehingga dalam eksistensinya manusia tidak terlepas dari pengharapan kepada Tuhan.
D. IMPLEMENTASI ALIRAN EKSISTENSIALISME DALAM PENDIDIKAN
Mazhab Eksistensialisme, berpandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa manusia hidup di dunia tanpa tujuan, dan kehidupan ini pada dasarnya suatu teka-teki. Kemudian manusia mencoba mencari makna hidup di dunia, dengan jalan mewujudkan dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu, tujuan utama pendidikan adalah membantu individu untuk mampu mewujudkan dirinya sebagai manusia. Metode pendidikannya dengan metode penghayatan (non directive atau absortive learning), dan metode dialog atau percakapan langsung.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education,bahwa “Eksistensialisme tidal menghendaki adanya aturan-aturan pendidkan dalam segala bentuk” oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Eksistensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhanya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.
Berikut implikasi aliran flsafat eksistensialisme dalam dunia pendidikan.
a. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri dan memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. b. Peran Pendidik Menurut eksistensialisme peranan pendidik sebagai pembimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative. Pendidik hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan. c. Peserta Didik Aliran eksistensialisme memandang siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya dan siswa dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu yang akal pikiran, rohani, dan jasmani yang semua itu merupakan kebulatan dan semua itu perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan melaksanakan kebebasan pribadi, para siswa akan belajar dasar-dasar tanggung jawab pribadi dan sosial. d. Kurikulum Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan mereka sendiri.Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. e. Metode Dalam metodologi eksistensialisme, guru merangsang “intensitas kesadaran” si pelajar dengan mendorong pencarian kebenaran pribadi dengan mengajukan pertanyaan makna kehawatiran hidup. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang mata pelajaran. f. Evaluasi Jadi menurut aliran ini manusia itu sendirilah yang dapat menentukan seseuatu itu baik atau buruk. Ungkapan dari aliran ini adalah “ Truth is subjectivity” atau kebenaran terletak pada pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya maka itulah yang buruk. g. Proses Belajar Mengajar Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan guru dengan murid sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada murid, harus menjadi bagian dari pengalaman pribadinya, sehingga guru akan berjumpa dengan anak sebagai pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru, tidak lagi merupakan sesuatu yang diberikan kepada murid, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
Eksistensialisme menolak bentuk pendidikan yang banyak berkembang saat itu, yaitu pendidikan dengan kurikulum yang telah ditentukan, dengan materi yang telah ditetapkan, dan dengan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (pekerja). Eksistensialisme ingin memberikan pendidikan yang bertujuan mewujudkan individu sesui dengan dirinya sendiri, seuai bakat dan minatnya, tanpa ada paksaan. Metode pendidikannya dengan metode penghayatan (non directive atau absortive learning), dan metode dialog atau percakapan langsung. Atau dalam psikologi dikenal dengan teori kognitif, yaitu peserta didik secara aktif membangun konsep pengetahuannya dengan cara menggabungkan pengalaman dahulu dengan pengalaman baru yang ia dapat. Sehingga proses belajar mengajar dibuat sedemikian rupa agar memberi pengalaman belajar yang baik untuk peserta didik. Sehingga dalam proses be;ajar mnegajar peserta didik menjadi pusatnya, atau child center. Eksistensialisme lebih menekankan bahwa pendidikan harus bermakna, dengan begitu pendidikan dengan penekanan pengalaman untuk membangun pengetahuan sangat cocok untuk mewujudkannya. Seperti kurikulum K13 yang digunakan saat ini. Yaitu menekankan pada keaktifan peserta didik dalam memperoleh ilmu pengetahuan baru.
E. EKSISTENSIALISME DALAM KONSEP ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
Dalam filsafat ilmu pendidikan, beda antara ontologi, epistimologi, dan aksiologi, yaitu:
1. Ontologi: dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang
ilmu.
2. Epistimologi: cara/teknik/sarana yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.
3. Aksiologi: tujuan dari pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan.
1. Ontology
Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fsik, dunia yang berada diluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia.
2. Epistemologi
Individu itu bertanggung jawab terhadap pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu berasal dari dalam diri, yaitu kesadaran individu dan perasaan-perasaannya sebagai hasil pengalaman masing-masing individu. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas dan tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas.
3. Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Jadi hakikat yang ingin dicapai aksiologi adalah hakikat manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan. Objek kajian aksiologi adalah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu karena ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat. Aksiologi disebut teori tentangnilai yang menaruh perhatian baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (rightand wrong), serta tata cara dan tujuan (mean and end).
Pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang mengurungnya. Sehingga terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab. Beberapa pemikiran eksistensialisme dapat menjadi landasan atau semacam bahan renungan bagi para pendidik agar proses pendidikan yang dilakukan semakin mengarah pada pembebasan manusia yang sesungguhnya. Manusia ditempatkan pada kedudukan yang tinggi, yaitu pada kepentingan manusia atau nilai-nilai misinya dalam hidup ini melalui konsentrasi perkembangan pribadinya.
Jadi dapat diketahui bahwa ontology dari aliran Eksistensialisme adalah: makna keberadaan manusai itu sendiri di dunia. Epistemologinya adalah bahwa ilmu pengetahuan manusia berasal dari pengalaan-pengalaman yang ada dalam hidupnya. Sedangkan Aksiologinya adalah kempuan manusia untuk dapat bertahan dalam hidupnya dengan bekal pengalaman hidupnya yang terus dikembangkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Materialism dan idealism yang secara lengsung atau tidak langsung dipandang melahirkan eksistensialisme. Materialism menganggap manusia sebagai unsur materi (obyek), sedangkan idealism menganggap manusia hanya sekedar ide-ide dari otaknya (subyek).
Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme: Martin Heidegger, J.P. Sartre, dan Gabriel Marcel.
Implementasi aliran eksistensialisme dalam pendidikan: Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya. Menurut eksistensialisme peranan pendidik sebagai sebagai pembimbing dan mengarahkan siswa. Peserta didik sebagai child center. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Jadi menurut aliran ini manusia itu sendirilah yang dapat menentukan seseuatu itu baik atau buruk. Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan.
Landasan Filsafat: Ontology: ilmu pengetahuan berasal dari manusia, hadirnya manusia menjadikan sesuatu bermakna Epistemology: ilmu pengetahuan berasal dari dalam diri manusia, yaitu pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dalam hidupnya Aksiologi: ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang dapat menjadikan hidup manusia bermakna dan bernilai bagi kehidupan yang lainnya.
B. SARAN
Dengan pembelajaran ini diharapkan mampu memberi motivasi kepada calon guru, apabila menjadi guru untuk mewujudkan pendidikan yang bermakna bagi peserta didik. Juga menjadi pendidik yang memberikan suasana belajar yang nyaman sesuai dengan kemampuan anak didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, Rabiatul. 2015. Aliran Eksistensialisme Dalam Pandangan Filsafat Islam. Vol. 14, No. 1, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman: Al-Banjari. Banjarmasin
As’adi, Basuki dan Miftahul Ulum. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet.1. Ponorogo:STAIN Press
Hakim, Atang Abdul. 2008. FILSAFAT UMUM Dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung : CV Pustaka Setia
Kamdani. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Cet.1. Yogyakarta:Pustaka Belajar
Muzairi. 2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Cet.1. Yogyakarta:Teras
Rasyidin, Waini. Suyitno. Sumiati, Tati. Dan Hamid, Solihin Ichlas. 2006. Filsafat Pendidikan. Cet.1. Bandung:UPI Press
Rofi’I, Mohammad. 2011. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Dan Implikasinya Terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan. STAIN Ponorogo: Program Studi Agama Islam
Warsito, Loekisno Choiril. 2011. PENGANTAR FILSAFAT. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press
http://eprints.umsida.ac.id/573/1/aksiologi%20pendidikan.pdf, terakhir diakses pada ahad, 30 September 2018, pukul 5:16 WIB
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/penerapan-filsafata-esensialisme-dalam-pembelajaran/amp/ diakses pada 11 november 2018 pukul 6:41
https://media.neliti.com/media/publication/81172-ID-aktivitas-pengejaran-melalui-pendekatan.pdf diakses pada 20 November 2018 pukul 6:50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar