Selasa, 26 Februari 2019

Psikologi Pendidikan " INTELIGENSI"

INTELIGENSI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Psikologi Pendidikan”

Dosen Pengampu:
Edi Purnomo, M.Pd.

Disusun oleh:
Dandi Alfianto 210317232
Mualifah Khoirunnisa 210317316
Imamul Aziz Al Hakim 210317308

Kelas/semester:
PAI J/03
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Inteligensi merupakan topic yang biasanya menarik perhatian para orang tua, guru dan para professor, akan tetapi berbicara tentang hakikat inteligensi, sampai saat ini belum ada definisi yang standar yang dapat mengungkapkan arti inteligensi.
Inteligensi diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kualitas berpikir, yakni kecerdasan piker atau intelegensi. Intelegensi membicarakan tentang tajam atau tidaknya kemapuan berpikir. Hamper semua orang memiliki pemikiran mengenai apa yang diartikan sebagai inteligensi atau kecerdasan, misalnya “kecerdasan”, “kemengertian”, “kemampuan untuk berpikir”, “kemampuan untuk menguasai”, “kecemerlangan sejak lahir”, dan sebagainya.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran masalah inteligensi merupakan salah satu masalah pokok. Sehingga banyak ahli psikologi yang mengkaji bagaimana inteligensi memberi pengaruh pada hasil belajar siswa.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Sifat Hakikat Inteligensi?
2. Apa Ciri-ciri Perbuatan Inteligensi?
3. Bagaimana Cara Mengukur Inteligensi?
4. Bagaimana Hasil Penyelidikan Inteligensi?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui Sifat Hakikat Inteligensi
2. Mengetahui Ciri-ciri Perbuatan Inteligensi
3. Mengetahui Cara Mengukur Inteligensi
4. Mengetahui Hasil dari Penyelidikan Inteligensi

BAB II
PEMBAHASAN
A. SIFAT-SIFAT HAKIKI INTELIGENSI
Konsepsi-konsepsi tersebut pada dasarnya digolong-golongkan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Konsepsi-konsepsi Mengenai Intelegensi yang Bersifat Spekulatif-Filsafati.
Spearman, dalam bukunya yang terkenal, yaitu The Abilities of Man (1927) mengelompokan konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif – filsafat itu menjadi tiga kelompok, yaitu: 
a) Yang memberikan definisi mengenai intelegensi umum.
1) Ebbingbaus (1897) memberi definisi intelegensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi.
2) Terman (1921)  memberi definisi intelegensi sebagai kemampuan untuk berfikir abstrak.
3) Thorndike ) memberi definisi intelegensi sebagai hal yang dapat dinilai dengan taraf ketidaklengkapan daripada kemungkinan- kemungkinan dalam perjuangan hidup individu.
b) Yang memberikan definisi mengenai daya-daya jiwa khusus yang merupakan bagian daripada intelegensi
Menurut Konsepsi ini intelegensi adalah persatuan (kumpulan yang dipersatukan) daripada daya-daya jiwa yang khusus. Karena itu pengukuran mengenai intelegensi juga mengamati , daya memproduksi, daya berfikir.
c) Yang memberikan definisi intelengensi sebagai taraf umum daripada sejumlah besar daya-daya khusus.
Konsepsi-konsepsi ini timbul dari keyakinan, bahwa apa yang diselidiki (dites) dengan tes intelegensi itu adalah intelegensi umum. Jadi intelegensi diberi definisi sebagai taraf intelegensi yang mewkili daya-daya khusus.
2. Konsepsi-konsepsi yang Bersifat Pragmatis.
Intelegensi adalah apa yang dites oleh tes intelegensi. Intelegensi iyu dapat di ukur sesuai dengan definisinya. Pernyataan ini disanalogikan dengan pengetahuan tentang listrik; pengukuran terhadap listrik tergantung pada definisi yang di berikannya, panasnya, alirannya, dan sebagainya.
3. Konsepsi-Konsepsi Faktor.
Dalam menyelidiki dan mencari sifat hakikat intelegensi itu orang menggunakan teknik analisis faktor. 
a. Teori Spearman
1) Faktor umum, general factor, dan
2) Faktor- faktor khusus tertentu, (special factor).
3) Faktor umum atau general factor, yang dilambangkan dengan huruf g merupakan hal atau faktor yang mendasari segala tingkah laku orang. Sedangkan faktor khusus atau special factor, yang dilambangkan dengan huruf s, hanya berfungsi pada tingkah laku khusus saja. Jadi tiap tingkah laku itu dimungkinkan atau didasari oleh dua faktor, yaitu: faktor g dan s tertentu. Faktor g berfungsi pada tiap tingkah laku, jadi yang berfungsi pada tingkah laku-tingkah laku yang berbeda itu adalah faktor g yang sama dan faktor s yang tidak sama. Bahwa faktor g tergantung pada dasar, sedangkan faktor s dipengaruhi oleh pengalaman (lingkungan, pendidikan).
b. Teori Thomson
Yang ada hanyalah bermacam-macam faktor khusus, faktor-faktor s. Faktor-faktor s ini tidak dipengaruhi oleh keturunan atau dasar, melainkan tergantung pada pendidikan. Adanya anak-anak dari golongan atas lebih cendas daripada anak-anak dari golongan rendah, bukan karena dasar melainkan karena mereka lebih banyak mempunyai kesempatanuntuk belajar.


c. Teori Cyrill Burt
Bahwa manusia terdapat faktor g, yang mendasari semua tingkah lakunya dan bahwa faktor g ini tergantung pada dasar, dibawa sejak lahir, dan bahwa tiap-tiap orang memiliki banyak faktor s.
Tetapi disamping kedua macam faktor itu menurut Burt masih ada faktor yang ketiga, yaitu faktor kelompok (group factor, common factor), yang biasanya dilambangkan dengan huruf c,. Faktor c adalah faktor yang berfungsi pada sejumlah tingkah laku, tetapi tidak pada semua tingkah laku jadi faktor c lebih luas daripada faktor s, tetapi lebih sempit daripada faktor g.
Jadi tiap tingkah laku menurut Burt dimungkinkan oleh ketiga macam faktor, yaitu: faktor g, faktor c, faktor s.
d. Teori Thurstone
Bahwa ada faktor c, yang berfungsi pada sejumlah tingkah laku: juga sependapat dengasn Burt mengenai adanya faktor s yang jumlahnya banyak sekali, sebanyak tingkah laku khususyang dilakukan oleh manusia yang bersangkutan. Akan tetapi mengenai faktor g dia menolaknya; dia berpendapat bahwa faktor g itu tidak ada, jadi hanya dua macam faktor saja, yaitu faktor c dan faktor s.
Adapun faktor c menurut Thurstone ada 7, yaitu:
1) faktor ingatan, kemampuan untuk mengingat, memory dan diberi lambang dengan huruf M,
2) faktor-faktor verbal, kecakapan untuk menggunakan bahasa, verbal factor, yang dilambangkan dengan huruf V,
3) faktor bilangan, kemampuan untuk bekerja dengan bilangan, misalnya kecakapan berhitung dan sebagainya (number factor) yang dilambangkan dengan huruf  N,
4) faktor penalaran atau, reasoning, yang diberi lambang dengan huruf R, yaitu faktor yang mendasari kecakapan untuk brpikir logis,
5) faktor presepsi atau, presepcial factor, yang diberi lambang dengan huruf P, yaitu kemampuan untuk mengamati dengan cepat dan cermat,
6) faktor ruang, atau spatial factor, yang diberi lambang dengan huruf S, yaitu kemampuan untuk mengadakan orientasi dlam ruang.
Kalau sekiranya ada kecakapan umum, itu bukan karena adanya faktor g, melainkan karena kombinasi daripada faktor c itu.
e. Pendapat Guilford
Bahwa yang pokok itu itu ialah faktor c; bahkan pada hakikatnya hanya inilah faktor-faktor intelegensi itu menurut dia faktor c banyaknya tidak hanya 7 melainkan 120.
Jumlah 120 macam itu disebabkan oleh karena variasi dalam intelegensi dapat dilihat dari tiga dasar, yaitu (1) proses psikologis yang terlibat, (2) isi atau materi yang diproses, (3) bentuk informasi yang dihasilkan. Secara garis besar, pendapat Guilford dapat diiktisarkan sebagai berikut:
1) Berdasarkan atas prosesnya (operations-nya) ada lima macam:
a) Cognition,
b) Memory,
c) Divergent production,
d) Convergent production,
e) Evaluation.
2) Berdasarkan isi (content) yang diprose ada empat macam:
a. Figural,
b. Symboli,
c. Semantic,dan
d. Behavioral
3) Bedasarkan atas bentuk informasi yang dihasilkan (product) ada enam macam:
a) Unit,
b) Classes,
c) Relations,
d) Systems,
e) Transformations, dan
f) Implicatons.
4. Konsepsi yang Bersifat Operasionalis
Ahli-ahli yang mengikuti operasionisme mengajukan keberatan-keberatan terhadap pendapat para pengikut teori faktor itu, yaitu pertama mendefinisikan, dan kedua mengukurnya.
Keberatan yang pertama ialah karena tindak (operation) pengukuran itu sendiri sebenarnya secara implist telah pula mendefinisikan.
Selanjutnya keberatan yang kedua, ditujukan pada jalan pikiran ini, dengan menganalisis hasil tes-tes, ahli-ahli yangmengikuti teori faktor berpendapat telah mengetahui faktor intelegensi itu, tetapi kata pengikut operasionisme dimanakah letak faktor itu? Cara yang demikian itu secara operasional tak dapat diterima.
5. Konsepsi-konsepsi Fungsional
Konsepsi ini disusun atas dasar pemikira atau analisis mengenai bagaimana berfungsinya intelegensi itu, lalu dirumuskan sifat-sifat hakikatnya dan definisinya. Binet menyatakan sifat hakikat intelegensi itu ada tiga macam, yaitu:
a. Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan ( memperjuangakan ) tujuan tertentu
b. Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian denagn maksud untuk mencapai tujuan tertentu.
c. Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah diperbuatnya.
Langerveld yang mengikuti Stern, yang memberikan definisi intelegensi sebagai disposisi untuk bertindak untuk menentukan tujuan-tujuan baru dalam hidupnya., membuat alat untuk mencapai tujuan itu serta mempergunakannya.
Selanjutnya, Stern memberikan penjelasan lebih jauh mengenai disposisi untuk bertindak, yaitu:
a) Disposisi itu tidak merupakn faktor yang mempunyai batas tajam dengan segi-segi kepribadian yang lain, melaikan hanya merupakan sektor-sektor daripada kepribadian yang tidak dapat berdiri sendiri.
b) Disposisi itu tidak semata-mata ditentuakan oleh dasar, tetapi ditentukan juga oleh faktor dari luar atau konvergensi antara faktor dasar dan pengaruh luar.
c) Disposisi ini bermakna rangkap, yaitu potensi dan berarah tujuan. Potensi-potensi tertentu memunyai tujuan tertentu.
d) Disposisi itu gejala-gejalanya dapat muncul dlam kesaaran, tetapi bukanlah apa yang disebut “ gejala kesadaran.
Nyata sekali tidak ada satu konsepsi pun yang dapat menjelaskan intelegensi itu secara tuntas ; tiap konsepsi masih meningagalkan masalah yang belum terselesaikan.
B. CIRI-CIRI PERBUATAN INTELEGENSI
Suatu perbuatan dapat dianggap inteligensi bila memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1. Masalah yang dihadapi banyak sedikitnya merupakan masalah yang baru bagi yang bersangkutan.
2. Perbuatan inteligensi sifatnya serasi tujuan dan dinamis.
3. Masalah yang dihadapi harus mengandung suatu tingkat kesulitan bagi yang bersangkutan.
4. Keterangan pemecahannya harus dapat diterima oleh masyarakat.
5. Dalam berbuatn inteligensi sering kali menggunakan daya mengabstrakkan dalam waktu berpikir, tanggapan-tanggapan dari ingatan yang tidak perlu harus disingkirkan.
6. Perbuatan inteligensi bercirikan kecepatan.
7. Membutuhkan pemusatan perhatian dan menghindarkan perasaan yang mengganggu jalannya pemecahan masalah yang sedang dihadapi.
Pengertian inteligensi menurut Whitherington mempunyai ciri-ciri hakiki berikut.
1. Cepat; semakin cepat suatu pekerjaan diselesaikan, semakin cerdas orang yang menyelesaikan.
2. Cekatan; umunya dihubungkan dengan pekerjaan tangan; dengan mudah dan ringkas menjelaskan sesuatu.
3. Tepat; sesuai dengan tuntutan keadaan, misalnya mengukur jalan yang panjang dengan besaran yang benar pula.
Dengan demikian, dapat disebut bahwa inteligensi adalah kesempurnaan perbuatan kecerdasan. Yang dimaksud kecerdasan adalah kecerdasan (activity) yang efisien. Dikatakan efisien, apabila memenuhi ketiga ciri-ciri hakiki inteligensi tersebut.
C. CARA MENGUKUR INTELIGENSI
1. Binet – Simon Intelligence Scale
Tes inteligensi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon menekankan tes tersebut pada ketrampilan verbal yang memiliki tingkat kesulitan yang teratur. Apabila seorang anak dapat menyelesaikan butir tes sebanyak 80-90% dari tes yang diperuntukkan kelompok usianya, misalnya untuk usia tiga tahun, maka ia dapat dinyatakan memiliki inteligensi sama dengan usianya atau kemampuan mental atau mental age yang normal. Selanjutnya, tes Binet mneyimpulkan, apabila skor tes seseorang beradi di bawah kemampuan kelompok seusianya maka anak tersebut dapat dinyatakan sebagai anak yang memiliki kemampuan mental di bawah normal.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah mental age diganti dengan istilah IQ (intelligent quotient) yang dinyatakan dalam bentuk angka. IQ adalah rasio dari mental age (MA) seorang individu dan chronological age atau usia kronologisnya yang dikalikan dengan 100.
IQ = MA  X 100
  CA
2. Stanford – Binet Intelligence Test
Tes ini diadministrasikan secara individual dan dikenal dengan istilah intelligence quotient atau IQ, yang merupakan rasio antara mental age  (MA) dan chronological age (CA). selanjutnya, The Stanford Binet pada saat ini dipakai untuk menghitung skor inteligensi yang terkenal dengan istilah the standard age score, yang dalam pelaksanaannya menggunakan ide Galton tentang distribusi normal dari karakteristik inteligensi manusia.
3. Wechsler Inteligence Scales
Biasa disebut dengan deviation IQ individual, yang ditetapkan berdasarkan skor tes inteligensi yang diperoleh oleh individu dan hubungannya dengan skor inteligensi individu normal. Wechsler intelligence test, yang mencakup Wechsler Adult Inteligence Scale (WAIS), Wechsler Inteligence Scale for Children Revised (WISC-R), dan Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI). Ketiga jenis tes inteligensi tersebut digunakan dalam bidang neuropsychological assessment.

4. Wechsler Adult Intelligence Scale
Landasan teori yang menjadi unsur dasar pengembangan WAIS dan tes Wachsler antara lainnya adalah keyakinan bahwa inteligensi merupakan suatu suatu hal yang bersifat rumit yang melibatkan berbagai jenis kemampuan. Oleh sebab itu, inteligensi bersifat multifaceted atau multibentuk. Dengan demikian, suatu tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan inteligensi individu harus dapat merefleksikan multiskill yang dimiliki individu tersebut.
Tes yang dikembangkannya terdiri atas dua bagian utama, yaitu verbal dan performance test. Untuk mengelola skor yang diperoleh dari tes tersebut, ia menggunakan teknik statistic, yaitu analisis factor yang bertujuan untuk mengenalisis dan menentukan skill spesifik yang terdapat dalam dua bagian utama tes inteligensi yang dikembangakannya. The WAIS-III terdiri atas empat belas subtes yang harus diselesaikan dalam waktu 60-75 menit. Tes tersebut diadministrasikan secara individual. Setiap subtes diberikan secara terpisah dan bergerak danri item tes yang sulit. Tes dapat dihentikan sebelum waktunya, apabila peserta tes telah menunjukkan kemampuan optimalnya. Item tes WAIS mencakup pengetahuan umum, aritmatik, kosa kata, melemgkapi gambar yang belum lengkap, menyusun balok dan gambar, dan menyusun objek.
5. Wechsler Intelligence Scale for Children
WISC hanya cocok untuk mengevaluasi inteligensi, bukan untuk mendiagnosa anak berkebutuhan khusus. WISC sangat efektif untuk menunjukkan diskrepensi atau ketimpangan antara skor inteligensi dengan pencapaian hasil belajar anak di sekolah. Untuk mengetahui kelainan atau kebuthan khusus yang dimiliki anak, dapat dilakukan multites, seperti Woodcock Johnson III atau Wechsler Individual Achievment Test II.


6. Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence
Atau WPPSI adalah suatu tes yang dibuat dengan beraneka warna yang menarik perhatian anak. Tes ini digunakan untuk mengukur IQ umum, Verbal IQ, Performance IQ, Processing Speed, dan General Language Composite. WPPSI merupakan tes yang dapat digunakan untuk memprediksi IQ anak. WPPSI terdiri atas serangkaian tes berikut:
a. Full Scale IQ (FSIQ), menggambarkan fungsi intelektual umum, seperti kemampuan dalam menerima informasi, kosa kata, dan alasan yang rasional.
b. Verbal IQ (VIQ), mengetahui kemampuan dan memeperoleh pengetahuan atau acquired knowledge, kemampuan mengemukakan alasan rasional atau verbal, dan perhatian terhadap stimulus verbal.
c. Performance IQ (PIQ), untuk mengetahui kealancaran mengemukakan alasan rasional, proses special, ketelitian terhadap detail, dan integrasi visual motor.
d. Verbal IQ Sub Test, terdiri atas:
Informasi untuk mengukur kemampuan menginat fakta yang telah dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan;
Vocabulary untuk mengukur kemampuan dalam pemahaman verbal dan pemahaman terhadap alasan yang rasional.
e. Performance IQ Sub Tests
Block Design, untuk mengukur kemampuan analisis dan memproduksi kembali berbagai desain abstrak dengan menggunakan balok.
Matrix Reasoning, untuk mengukur kemampuan mengemukakan alasan verbal secara rasional, pemehaman verbal secara komprehensi, kemampuan untuk mensintesa berbagai jenis informasi yang berbeda, abstraksi verbal, kemapuan kognitip untuk mengetahui kemampuan dalam mengemukakan berbagai alternative konsep.
Picture Concepts, untuk mengukur kemampuan terhadap ide yang abstrak dan kemampuan melakukan kategorisasi secara rasional.
D. HASIL PENYELIDIKAN INTELIGENSI
1. Tes inteligensi tergantung kepada kebudayaan. Tes yang disusun dalam lingkungan kebudayaan tertentu tidak dapat dipergunakan untuk mengetes orang-orang yang berasal dari lingkungan kebudayaan yang berlainan.
2. Tes inteligensi hanya cocok untuk jenis tingkah laku tertentu.
3. Menggolongkan tingkah laku menjadi empat macam golongan yaitu:
a. Affektiv Handlung, tingkah laku afektif. Yaitu tingkah laku yang didasari oleh afek atau perasaan.
b. Traditional Handlung, Tingkah laku tradisional. Dalam menyelesaikan tugas tes inteligensi seseorang harus bekerja dengan cepat dan tepat. Tetapi tradisi seringkali tidak memperkenalkan hal yang demikian itu.
c. Wertrational Handlung, tingkah laku rasional berdasarkan nilai-nilai. adalah tingkah laku yang rasional, tetapi rasionalnya itu didasarkan atas nilai-nilai tertentu, misalnaya nilai-nilai kepercayaan atau keagamaan.
d. Zweckrational Handlung, tingkah laku rasional atas dasar tujuan. adalah tingkah laku yang rasional menurut pertimbangan apa yang akan dicapai atau apa yang dituju.
4. Tes inteligensi hanya cocok untuk tipe kepribadian tertentu. supaya orang dapat sukses dengan tes inteligensi, maka dia harus memiliki sifat-sifat tertentu diantaranya sebagai berikut:
a. Dia harus menurut saja, dan mengkritik, petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam tes tersebut; demikian pula dia harus menjalankan tugas yang disuruhkan kepadanya.
b. Dia harus mempunyai dorongan bersaing yang besar didalam tes intelegensi harus berusaha untuk mencapai nilai yang tertingggi, melebihi siapa saja.
c. Dia harus berpegang pada prinsip ekonomi, yaitu mengeluarkan usaha yang sekecil-kecilnya dan mendapatkan hasil sebesar-besarnya.
5. Pebandingan kecerdasan atau IQ yang merupakan hasil yang ditunjukkan oleh tes inteligensi tidaklah semata-mata tergantung kepada keturunan atau dasar. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan ikut berpengaruh dalam perkembangan inteligensi.
6. Perbandingan kecerdasan atau IQ seseorang tidak konstan. IQ seseorang dapat berubah statusnya, artinya dapat meningkat atau menurun.
7. Dalam penggolongan manusia menurut IQnya biasanya diikuti suatu pedoman, yang sebenarnya harus diterima dengan hati-hati.
8. Tes inteligensi itu sendiri masih mengandung kekeliruan-kekeliruan.
9. Perkembangan inteligensi terutama terjadi pada masa kanak-kanak, perubahan itu berlangsung dengan cepat sampai umur 13 atau 15 tahun, dan sesudah itu berlangsung dengan lambat.
10. Pada anak-anak yang masih sangat muda pengaruh inteligensi terhadap sukses atau gagalnya belajarnya seseorang adalah besar.
11. Untuk keperluan pemberian bimbingan umumnya diperlukan pengetahuan mengenai inteligensi anak yang akan diberi bimbingan.
12. Juga bantuan kepada mereka yang membuthkan prtolongan khusus  -misalnya  untuk remedial teaching – dibutuhkan pula pengetahuan mengenai inteligensi itu.

13. Klasifikasi IQ nya adalah:
Very superior : IQ di atas 130
Superior : IQ 120-129
Bright normal : IQ 110-119
Average : IQ 90-109
Dull normal : IQ 80-89
Borderline : IQ 70-79
Mental defective : IQ 69 dan ke bawah. 
14. Factor-faktor yang menentukan inteligensi manusia, adalah : pembawaan dan kematangan. Kecerdasan tidak tetap statis, tetapi dapat tummbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan jasamani, umur dan kemampuan-kemampuan lain yang telah dicapai.
















BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sifat Hakikat Inteligensi yang dijelaskan menurut konsepsi-konsepsi tersebut pada dasarnya digolong-golongkan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif.
2. Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis.
3. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor, yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi faktor.
4. Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional,dan
5. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional.
Ciri-ciri Perbuatan Inteligensi, diantaranya cepat, cekatan, dan tepat.
Cara Mengukur Inteligensi, diantara cara atau metode mengukur inteligensi, ialah: Binet – Simon Intelligence Scale, Stanford – Binet Intelligence Test, Wechsler Inteligence Scales, Wechsler Adult Intelligence Scale, Wechsler Intelligence Scale for Children, Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence
Hasil penyelidikan inteligensi diantaranya: bahwa inteligensi merupakan bawaan yang dapat dipengaruhi oleh lingkugan. Namun, peningkatan atau penurunannya tidak sampai melebihi atau kurang dari kelompoknya.
B. SARAN
Dengan pemberian materi ini, diharapkan menambah pengetahuan teman-teman sebagai seorang guru. Bahwasannya perbedaan inteligensi peserta didik memberikan pengaruh terhadap pencapaian peserta didik dalam belajar, sehingga perlu menjadi perhatian bagi pendidik untuk memberikan materi sesuai dengan kemampuan inteligensi peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sutrisno, Arief, Suyoto. Basyris, Syamsudin. dan Darda’, Abu. 1425 H. dkk. Psikologi Pendidikan. Ponorogo:PM Darussalam Gontor
Ahmadi, Abu.  dan  M. Umar. 2013. Psikologi Umum (Edisi Revisi). Surabaya: Bina Ilmu
Jamaris, Martin. 2015. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia
Sobur, Alex. 2003.  Psikologi Umum. Bandung:Pustaka Setia
Suryabrata, Sumadi, 2004.  Psikologi Pendidikan, Jakarta:Raja Grafindo Persada
Walgito, Bimo. 2010.  Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta:Andi Offset

Tidak ada komentar:

Posting Komentar