Selasa, 23 Juli 2019

PENTINGNYA PERILAKU JUJUR "studi materi PAI SMA/SMK"


A.    Pentingnya Berlaku Jujur
Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan “as-sidqu” atau “ siddiq” yang berarti benar, nyata, atau berkata benar. Lawan kata ini adalah dusta, atau dalam bahasa “al-kazibu”. Secara istilah, jujur bermakna: (1) Kesesuaian antara ucapan dan perbuatan; (2) Kesesuaian antara informasi dan kenyataan; (3) Ketegasan dan kemantapan hati; dan (4) Sesuatu yang baik yang tidak dicampur kedustaan.[1] Jadi, jujur adalah berkata dengan benar sesuai dengan kenyataannya, tidak di kurang-kurangi ataupun di lebih-lebihkan.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berlaku benar baik dalam perbuatan maupun ucapan, sebagaimana firman-Nya:
يا يّها الّذ ين امنو التّقوا اللّه وكونوامع الصّدقين
Artinya:
 “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (Q.S. at-Taubah/9: 119).
Ibnu Qayyim berkata, dasar iman adalah kejujuran (kebenaran), sedangkan dasar nafiq adalah kebohongan atau kedustaan. Tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah SWT. menegaskan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkan dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).[2]
قال اللّه هذايوم ينفع الصّدقين صدقهمقلي لهم جنّت تجري من تحتهاالأنهر خلدين فيها ابدا قلي
رضي  اللّه عنهم ورضواعنه قلي ذلك الفوزالعظيم
Artinya:
 “Allah berfirman, “Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (Q.S. al-Maidah/3: 119)
Dalam kitab Mu’jamu al-Fahras lialfadzi al-Qur’an, kata sadaqa  ada dalam 4 ayat al-Qur’an, yaitu:
Surah Ali Imran ayat 95
Surah Al-Ahzab ayat 22
Surah Yasin ayat 52
Surah Al-Fath ayat 27[3]
B.     Keutamaan Perilaku Jujur
Sifat jujur merupakan tanda keislaman seseorang dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Pemilik kejujuran memiliki kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.[4]
Kejujuran akan mengantarkan seseorang mendapatkan cinta dan kasih sayang dan keridaan Allah SWT. Sedangkan kebohongan adalah kejahatan tiada tara, yang merupakan faktor terkuat yang mendorong seseorang berbuat kemunkarann dan menjerumuskannya ke jurang neraka.[5] Orang yang berbuat jujur maka ia akan dipercaya oleh orang lain dan mendapat kebahagiaan serta ketentraman dalam hidupnya. Begitupun sebaliknya, orang yang berbuat bohong maka ia tidak dapat dipercaya, sekali berbohong maka kepercayaan orang lain terhadapnya akan hilang. Ia selalu dihantui dengan perassan bersalah, dan ia tidak akan tentram dalam menjalankan kehidupannya.
C.    Macam-Macam Kejujur
Imam al-Gazali membagi sifat jujur atau benar sebagai berikut:
1.      Jujur dalam niat atau berkehendak, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah SWT.
2.      Jujur dalam perkataan (lisan), yaitu sesuainya berita yang diterima dengan yang disampaikan. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali dengan jujur.
3.      Jujur dengsn perbusatan/amaliah, yaitu beramal dengan sungguh sehingga perbuatan sahirnya tidak menunjukkan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi dirinya.[6]
Allah SWT. berfirman:
يا يّها الّذ ين امنو التّقوا اللّه وقولواقولاسد يدا
Artinya:
            Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah SWT. dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (Q.S. al-Ahzab/33:70)
Orang yang beriman perkataannya harus sesuai dengan perbuatannya karena sangat berdosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataan dengan perbuatannya.[7]
D.    Petaka Kebohongan
Sebab dusta ingin mendapat manfaat dan menolak bahaya, sebab manusia kadang-kadang melihat ada keselamatan yang segera dalam kebohongan, dan melihat ada bahaya dalam kejujuran.
     Bahaya berbohong kembali kepada diri sendiri, ia akan diremehkan serta tidak dipercaya lagi, pendusta/pembohong dihinakan di dunia, disiksa di akhirat, dusta juga berefek untuk orang lain karena pendusta berjanji dengan orang lain akan suatu kebaikan kemudian mengingkarinya sehingga memecahkan hati orang tersebut akibatnya hilanglah harapan dan timbullah gosip, adu domba, sehingga tergeraklah manusia dalam kemarahan dan permusuhan.[8] sekali kita mengucap sesuatu yang bohong dari mulut kiita, apabila tidak dihilangkan akan menjadi kebiasaan. Sekali kita berbohong rusaklah kepercayaan orag lain terhadap diri kita. Dan bila terlalu sering berbohong, sekalipun kita berkata jujur ucapan kita sulit untuk dipercaya, karena orang sudah tidak memiliki kepercayaan terhadap ucapan kita.
E.     Hikmah Perilaku Jujur
Beberapa hikmahh yang dapat dipetik dari perilaku jujur, antara lain sebagai berikut:
1.      Perasaan enak dan hati tenang, jujur akan membuat kita tenang, tidak takut akan diketahui kebohongannya karena memang tidak bohong.
2.      Mendapat kemudahan dalam hidupnya.
3.      Selamat dari azab dan bahaya.
4.      Dijamin masuk surga.
5.      Dicintai oleh Allah SWT. dan rasul-Nya.[9]


[1] Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk SMA Kelas X, jilid 1 (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), 34.
[2] Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk SMA Kelas X, jilid 2 (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), 24.
[3] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jamu Al-fahras Lialfadzi al-Qur’an (Kairo: Dar Al-Hadis, 2007),498.
[4] Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk SMA Kelas X, jilid 2, Ibid., 24.
[5] Anwar Rudin, dkk, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk Kelas X SMK, Kurikulum 2013 (Ponorogo: Tim MGMP PAI SMK Kabupaten Ponorogo), 27.

[6]Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk SMA Kelas X, jilid 1, Ibid., 34.
[7] Anwar Rudin, dkk, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk Kelas X ScMK, Ibid, 27.
[8] Hafid Hasan Al-Mas’udi, Taisirul Kholaq, Ma’had Islam Salafy, 18.
[9] Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk SMA Kelas X, jilid 2, Ibid., 27.

filsafat pendidikan islam "PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM"


A.    Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Apabila mendengar kata filsafat, maka konotasinya mengarah kepada sesuatu yang bersifat prinsip antar dasar, yaitu sesuatu yang mengandung nilai-nilai dasar tertentu. Begitu pula bila mendengar kata pendidikan, maka koNotasinya tertuju kepada guru dan peserta didik. Bila mendengar kata Islam, maka konotasinya tertuju kepada ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. yaitu agama Islam.
Filsafat sebenarnya berasal dari kata atau bahasa Yunani philosophia. Dari kata philosophia ini kemudian banyak diperoleh pengertian-pengertian Filsafat, baik dari segi pengertiannya secara harfiah atau etimologi maupun dari segi kandungannya.
Menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumy Al- syaibany dalam bukunya Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah yang diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, bahwa: pengertian bebas pada kata “Falsafah” “pada bahasa asalnya, Yunani Kuno, adalah “cinta akan hikmah.”[1]
Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy dan semuanya berasal dari bahasa yunani philosophia. Kata philosophia terdiri dari kata philain yang berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti sedalam-dalamnya. Mengartikan Sophia dengan pengetahuan (wisdom atau hikmah). Orang yang cinta pengetahuan disebut philosophia atau failasuf dalam ucapan arabnya. Sementara itu secara terminologi ada banyak pendapat tentang filsafat. Pengertian filsafat dari segi istilah ini mengalami perkembangan dari zaman ke zaman.[2]
Pengertian bebas dalam kata “falsafah” pada bahasa asalnya, Yunani kuno, adalah “cinta akan hikmah”. Takrif ini berterusan digunakan orang sampai-sampai juga pada falsafah Islam. Filosof-filosof Islam berusaha untuk mendapatkan suatu sandaran bagi takrif ini dari al-quran dan dari kebudayaan Islam dan arab. Seperti firman Allah yang artinya Barang siapa diberi hikmah, maka ia diberi kebaikan yang banyak. (Al-Baqarah: 269). Jadi dari takrif sederhana dari falsafah umum dapat diketahui bahwa falsafah itu bukanlah hikmah itu sendiri, tetapi cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya. Dengan pengertian itu maka filosof yaitu orang yang mencintai hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian kepadanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selain itu, mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan, pengalaman-pengalaman manusia.[3]
Sudah tentu “hikmah dan pengetahuan tidaklah sama. Hikmah itu mengandung kematangan pandangan, dan fikiran yang jauh, fahaman dan pengamatan yang tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja.” Jadi hikmah dengan pengertian seperti ini bukan hanya diperlukan oleh filosof, tetapi diperlukan juga oleh setiap warga negara yang baik, terutama mereka yang memegang tampuk pimpinan dalam pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi/politik. Dan terpenting diantara mereka semua adalah pendidik dan guru yang harus memiliki hikmah dalam arti kata sebenarnya. “guru yang memiliki hikmah yaitu guru yang sanggup menumbuhkan bakat-bakat murid-muridnya dan mengarahkannya kepada kebaikan dalam suasana kasih-sayang ibu-bapa dan hubungan sosial yang sehat….(dan ialah) yang mengetahui apa yang dikehendaki  percaya pada pelaksanaan tugasnya dan bekerja keras untuk melaksanakan tugas tersebut.[4] Seorang pendidik atau guru harus memahami maksud dari filsafat, yaitu mencintai hikmah. Seorang pendidik yang akan berhadapan dengan banyak karakter peserta didik, seorang guru harus menempatkan dirinya sebagai pendidik yang bijaksana, yang memahami dan mengetahui hikmah di setiap karakter dan sifat peserta didik.
Para filosof Islam mengemukakan perkataan "hikmah" untuk "kebijaksanaan" atau "Sophia" diatas. Hikmah mengandung kematangan wawasan, cakrawala pemikiran yang jauh, pemahaman yang mendalam, yang tidak dapat dicapai pengamatan sepintas saja. Masih ada yang menambahkan persyaratan lain dari hikmah, yaitu mengetahui pelaksanaan pengetahuan dan dapat melaksanakannya.[5]
Ilmu yang membahas tiga pokok pembahasan atau masalah pokok, yaitu masalah Wujud, masaalah pengetahuan, dan masalah nilai. Dalam lapangan kehidupan sehari-hari, dapat ditakrifkan falsafah umum dalam kehidupan sebagai pandangan hidup, cara hidup, atau serangkaian prinsip-pinsip yang dipercayai seseorang dalam hidupnya. Filosof pendidikan, seperti juga filosof umum berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan proses pendidikan. Maka filosof pendidikan degan segala harapan yang diletakkan padanya haruslah memiliki fikiran yang benar jelas dan menyeluruh tentang wujud dan segala aspeknya yang bermacam-macam: ketuhanan, kemanusiaan, kealaman fisikal, dan sosial, begitu juga tentang pengetahuan kemanusiaan.[6] Sehingga filsafat pendidikan dalam diri pesrta didik diharapkan dapat menjadikan falsafah pendidikan sebagai landasan dalam pelaksanaan pendidikan. Karena apa yang menjadi objek dalam pendidikan seperti kemanusiaan, kealaman dan sosial juga mendaji pembahasan dalam dunia pendidikan. Maka pemahaman tentang filsafat perlu menjadi landasan, pandangan, cara hidup, dan prinsip dalam menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan kemanusiaan, kealaman dan sosial.  
Dengan ini jelaslah bahwa filosof pendidikan yaitu seseorang yang menggunakan Gaya falsafah dalam pendidikan. Ia jug memiliki pandangan yang jelas atau sejumlah prinsip dan keyakinan yang mempunyai nilai pelaksanaan dalam bidang pendidikan. Falsafah pendidikan tidak lain ialah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi-segi pelaksanaan falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.
Dalam hubungan antara falsafah umum dan falsafah pendidikan itu, maka falsafah pendidikan telah diberi berbagai-bagai batasan antaranya sebagai berikut :
1.      “Falsafah pendidikan yaitu pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pengalaman kemanusiaan yang disebut pendidikan.”
2.      “Pendidikan yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pendidik-pendidik dan filosof-filosof untuk menerangkan, menyelaraskan, mengecam dan mengubah proses pendidikan selaras dengan masalah-masalah kebudayaan dan unsur-unsur yang bertentangan di dalamnya.
3.      Kita telah membatasi falsafah pendidikan sebagai sejumlah prinsip, kepercayaan, konsep, andaian, dan yang telah dihadakan dalam bentuk terpadu, berjalin, berkaitan satu sama lain.[7]
Jadi, dalam filsafat diketahui bahwa antara pengetahuan dan hikmah merupakan sesatu yang berbeda. Berpengetahuan tidak menjamin ia mengetahui hikmah dari sesuatu. Dengan hikmah atau filsafat segala sesuatu, termasuk juga ilmu pengetahuan harus dipahami dengan hikmah yang terkandung di dalamnya. Filsafat menjadi sangat diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan flsafat dapat diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah yang ada dalam pendidikan.
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang prinsip-prinsip dan dasarnya yang digunakan untuk merumuskan berbagai konsep dan teori pendidikan Islam didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran Islam, filsafat pendidikan Islam berbeda dengan filsafat pendidikan pada umumnya yang tidak memasukkan prinsip ajaran tauhid, akhlak mulia, fitrah manusia sebagai makhluk yang bukan hanya terdiri dari jasmani dan akal, melainkan juga spiritual, pandangan tentang alam jagat raya sebagai tanda atau ayat Allah yang juga berjiwa dan bertasbih kepada-Nya, pandangan tentang akhlak yang bukan hanya didasarkan pada rasio dan tradisi yang berlaku dimasyarakat, melainkan juga nilai-nilai yang mutlak benar dari Allah, serta berbagai pandangan ajaran Islam lainnya.
B.     Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam secara makro adalah yang tercakup dalam objek material filsafat, yaitu mencari keterangan secara radikal mengenai Tuhan, manusia, dan alam yang tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan biasa. Sebagaimana filsafat, filsafat pendidikan Islam juga mengkaji ketiga objek ini berdasarkan ketiga cabangnya: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara mikro objek kajian filsafat pendidikan Islam adalah hal-hal yang merupakan faktor atau komponen dalam proses pelaksanaan pendidikan. Faktor atau komponen pendidikan ini ada lima, yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan (kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan. Untuk lebih memfokuskan pembahasan filsafat pendidikan Islam yang sesuai dengan fokus penelitian ini, maka cukup disajikan ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam secara makro.[8]
Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran yang bersifat filosofis yaitu pemikiran yang mendalam, mendasar, sistematis, komprehensif, logis dan universal mengenai masalah-masalah pendidikan yang berdasarkan pada ajaran agama Islam (Al-Qur’an dan Hadits serta pendapat para filosof muslim). Masalah-masalah pendidik tersebut mencakup dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, metode, lembaga, guru, murid, evaluasi, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan pendidikan lainnya.[9] Dengan filsafat pendidikan islam ini, pendidik diharapkan mampu menerapkan prinsip filosof yaitu bijaksana dalam menjalankan tugasnya. Jadi guru mengajar tidak hanya sebatas menyampaikan materi atau memenuhi tuntutan administrasi sebagai seorang guru, namun guru juga harus memgerti hikmah dari perbuatan mengajar yang ia lakukan. Berkaitan dengan hal lain seperti metode, evaluasi atau penilaian dan beberapa hal dalam pendidikan yang harus dipandang tidak hanya dari satu sudt pandang saja, melaikan harus dipandang secara menyeluruh atau universal, sehingga metode, materi, evaluasi dll dalam pendidikan dapat memberi makna bagi pendidik dan peserta didik.
C.     fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Secara kegunaan (aksiologi) seperti yang diketahui bahwa setiap ilmu sudah pasti memiliki nilai guna, yakni filsafat pendidikan Islam menurut Omar Muhammad Al- Taomy Al Syabany yang mengemukakan bahwa kegunaan filsafat pendidikan Islam diantara lain:[10]
1.      Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan orang- orang yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap sistem pendidikan. Memperbaiki peningkatan pelaksanaan pendidikan serta kaidah dan cara mereka mengajar yang mencakup penilaian, bimbingan, dan penyuluhan.
2.      Filsafat pendidikan dapat menjadi asas terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh.
3.      Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pemikiran bagi faktor- faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, dan politik dinegara kita.
Jadi sebagaimana fungsi filsafat dalam pendidikan, filsafat Islam dalam pendidikan pun memiliki fungsi yang sama. Filsafat sebagai landasan, dasar dalam melaksanakan kegiatan pendidikan yang bernuansa Islami. Selain itu filsafat pendidikan Islam yang menjadi landasan tersebut dapat menjadi solusi dari permasalahan pendidikan yang saat ini pendidikan Islam dinilai telah kalah dengan model pendidikan barat. Karena kita adalah pendidikan Islam, maka tidak benar apabila kita berlandaskan pada pemikiran filosof pendidikan barat. Sehingga perlu bagi pelaku pendidikan Islam untuk mengkaji kembali kepada model pendidikan yang berlandaskan pada filsafat pendidikan Islam.
  1. Sumber Falsafah Islam bagi Pendidikan
Falsafah itu harus dimabil dari berbagai sumber. Sumber itu diperhatikan dalam menciptakannya berbagai faktor, dengan syarat sumber-sumber dan faktor itu semua harus dikaitkan dengan sumber Islam. Islam merupakan sumber yang utama utuk menjadi dasar falsafah umum dan falsafah yang kita gunakan dalam bidang pendidikan, pembangunan, kebudayaan, sosial, eknomi dan politik. Islam dengan berbagai sumbernya dengan kesadaran dan mendalam akan keluar dengan pikiran universal dan berpadu tentang falsafah wujud, falsafah pengetahuan, dan falsafah nilai-nilai. Inilah yang diperlukan pendidik dalam membina falsafah pendidikan yang sebaik-baiknya. Di antara sumber-sumber tambahan yang mungkin menjadi dasar, prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, dan kandungan-kandungan falsafah pendidikan Islam ialah sebagai berikut:
1.      Ciri-ciri pertumbuhan pengajaran dari segi jasmani, intelektual, temprament, emosi, spiritual, keperluan-keprluan, dan penggerak-penggeraknya yang bermacam-macam.
2.      Nilai-nilai dan tradisi-tradisi sosial yang baik yang memberikan kepada masyarakat corak ke Islaman / ke Araban yang tidak menghalangi kemajuan mengikuti semangat zaman, dan keperluan-keperluan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik bagi masyarakat.
3.      Hasil-hasil penyelidikan dan kajian-kajian pendidikan dan psikologi yang berkaitan dengan sifat-sifat, proses pendidikan, dan tujuan-tujuan pendidikan, dan fungsi-fungsinya sangat penting.
4.      Prinsip-prinsip yang menjadi dasar falsafah politik, ekonomi, dan sosial yang dilaksanakan oleh negara, dan piagam-piagam serta prinsip-prinsip perhimpunan-perhimpunan serantau (regional) dan internasional.[11]
Sumber falsafah pendidikan Islam adalah seluruh sumber ajaran Islam, termasuk di dalamnya Al-Qur’an, Hadis, Ijtihad, Ijma’ dan Qiyas. Seluruh sumber hukum ajaran Islam tersebut memberikan sumbangsih terhadap falsafah pendidikan Islam. selain itu karena masalah –pendidikan meruapakan masalah yang menyangkut banyak hal, maka tidak cukup hanya menggunakan beberapa sumber hukum itu sebagai penentu falsafah pendidikan Islam, beberapa hal seperti yang disebutkan di atas dapat menjadi sumber dalam menentukan falsafah pendidikan Islam yang nantinya dijadikan landasan pelaksanaan pendidikan Islam. Berbagai sumber seperti yang dikemukakan di atas dapat menjadi sumber falsafah pendidikan Islam setelah dilakukan proses pemilihan, antara yang sesuai dan tidak sesuai dengan ajaran ke Islaman.



[1] Omar Muhammad Al-Tumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, (Cet Pertama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 25. 
[2] Adri Efferi, Filsafat Pendidikan Islam,( kudus, Nora Media Enterprise 2011) Hal 4 
[3] Omar Muhammad Al-Tumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, h. 25. 

[4] Omar Muhammad Al-Tumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, h. 26. 

[5] Muhammad As Said, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Mitra Pustaka, April 2011 hlm 1 
[6]  Omar Muhammad Al-Tumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, h. 29. 

[7] Omar Muhammad Al-Tumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, h. 30-32. 

[8] http://eprints.walisongo.ac.id/811/3/083111098_BAB2.pdf
[9] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: PT. logos Wacana Ilmu, 1997), h. 32. 
[10] Al Syabany, Falsafah Pendidikan Islam (terjemahan Hasan Langgulung dari
Falsafah al- Tarbiyah al- Islamiyyah), 33-36.

[11] Omar Muhammad Al-Tumy Al-Syaibany, Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, h. 38-46. 


TEKNIK PENILAIAN NON TES


“TEKNIK DAN INSTRUMEN PENILAIAN NON-TES
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
 Model Penilaian Kelas


Dosen Pengampu:
Bustanul Yuliani, M.Pd.I

Disususun oleh kelompok 6:
Ari Hidayatul Mustafit                                 : 210317216
Mualifah khoirunnisa                                   : 210317316
Ramdhani Muhammad Huseyn A              : 210317312


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2019

 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara umum, instrumen adalah suatu alat yang memenuhi persyaratan akademis, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat ukur atau pengumpulan data mengenai suatu variabel. Adapun dalam bidang pendidikan, instrumen digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa, faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan atau berpengaruh terhadap hasil belajar, perkembangan hasil belajar, keberhasilan proses belajar mengajar, dan keberhasilan pencapaian suatu program tertentu.[1]
Penilaian pada aspek sikap dilakukan bersama-sama dengan penilaian pada aspek pengetahuan dan aspek keterampilan. Penilaian pada aspek sikap---baik spiritua maupun sosial---menggunakan teknik pengamatan (observasi), penilaian diri (self assessment), dan penilaian antarteman (peer assessment). Penilaian pada sikap memungkinkan bagi guru untuk melakukan intervensi jika seorang siwa mengungkapkan dirinya dengan cara yang tidak tepat. Karena, setiap teknik penilaian yang dikemukakan tersebut bersifat saling melengkapi.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Bentuk-bentuk Instrumen Penilaian Non-Tes?
2.      Apa Fungsi dari Setiap Bentuk Instrumen Non-Tes?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bentuk-bentuk Instrumen Non-Tes
Teknik evaluasi nontes berarti melaksanakan penilaian dengan tidak menggunakan tes. Teknik penilaian ini umumnya menilai kepribadian anak secara menyeluruh yang meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup, dan lain-lain. Teknik ini berhubungan dengan kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara individual maupun secara kelompok.[3]
Kuesioner dan wawancara pada umunya digunakan untuk menilai aspek kognitif seperti pendapat atau pandangan seseorang serta harapan dan aspirasinya di samping aspek afektif dan perilaku individu. Skala biasanya digunakan untuk menilai aspek afektif seperti skala sikap dan skala minat serta aspek kognitif seperti skala penilaian. Observasi biasanya digunakan untuk memperoleh data mengenai perilaku individu atau proses kegiatan tertentu. Studi kasus digunakan untuk memperoleh data yang komprehensif mengenai kasus-kasus tertentu dari individu. Sosiometri pada umumnya digunakan untuk menilai aspek perilaku individu, terutama hubungan sosialnya. Catatan kumulatif digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang mendalam dan menyeluruh mengenai individu yang dilakukan terus menerus sehingga diperoleh data dan informasi yang komprehensif. Kelebihan nontes dari tes adalah sifatnya leboh komprehensif.[4]
Dalam dunia pendidikan Indonesia, peraturan mengenai penilaian domain sikap tertuang dalam Permendikbud No. 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, dimana penilaian sikap siswa dilakukan melalui metode observasi, penilaian diri (self assesment), penilaian antar peserta didik (peer evaluation), maupun jurnal.[5]
Berikut adalah beberapa instrumen nontes yang sering digunakan dalam evaluasi di bidang pendidikan. Diantaranya adalah:
1.      Observasi
Observasi dapat dilakukan menggunakan dua cara yaitu: (1) informal dan tidak terenana (insidental), serta (2) formal dan terencana. Observasi secara informal dan tidak terencana terjadi ketika guru mengamati secara spontan sikap siswa selama aktivitas pembelajaran dan pada saat terjadi interaksi antara guru dan siswa. Observasi informal bersifat tidak terstruktur dan tidak ada format atau prosedur yang ditetapkan.[6]
Observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan yang sistematis.
Ada dua macam observasi:
a.       Observasi partisipan, yaitu observasi yang dilakukan oleh pengamat, dalam hal ini pengamat memasuki dan mengikuti kegiatan kelompok yang sedng diamati.
b.      Observasi sistematik, yaitu observasi dimana faktor-faktor yang diamati sudah didaftar secara sistematis dan sudah diatur menurut kategorinya.
c.       Observasi eksperimental terjadi jika pengamat tidak berpartisipasi dalam kelompok.[7]
Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan denganmenggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan instrumenyang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati. Observasi langsung dilaksanakan oleh gurusecara langsung tanpa perantara orang lain. Sedangkan observasi tidak langsung dengan bantuanorang lain, seperti guru lain, orang tua, peserta didik, dan karyawan sekolah.[8]
Dalam observasi menggunakan instrumen lembar pengamatan dan rubrik. Instrumen observasi yang umum digunakan dalam mengobervasi akivitas belajar siswa proses pembelajaran antara lain: check list, anecdotal record dan rating scale. Check listatau daftar cek adalah instrumen observasi yang memuat daftar dari semua aspek tingkah laku yang akan diamati. Bila tingkah laku yang diamati itu muncul maka diberi tanda cek (v), yang tidak muncul dikosongkan.[9]
Bentuk instrumen yang digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi yang berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek digunakan untuk mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku. Sedangkan skala penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku peserta didik dalam suatu rentangan sikap. Pedoman observasi secara umum memuat pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil pengamatan sikap atau perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap atau perilaku yang positif atau negatif sesuai indikator penjabaran sikap dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar. Rentang skala hasil pengamatan antara lain berupa  :
1)      Selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah
2)      Sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik
(lihat lembar contoh instrumen).
Pedoman observasi dilengkapi juga dengan rubrik dan petunjuk penskoran. Rubrik memuat petunjuk/uraian dalam penilaian skala atau daftar cek. Sedangkan petunjuk penskoran memuat cara memberikan skor dan mengolah skor menjadi nilai akhir. Agar observasi lebih efektif dan terarah hendaknya :
1)      Dilakukan dengan tujuan jelas dan direncanakan sebelumnya. Perencanaan mencakup indikator atau aspek yang akan diamati dari suatu proses.
2)      Menggunakan pedoman observasi berupa daftar cek atau skala penilaian.
3)      Pencatatan dilakukan selekas mungkin.
4)      Kesimpulan dibuat setelah program observasi selesai dilaksanakan.
2.      Penilaian Diri
Penilaian diri; merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam berbagai hal.[10]
Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri menggunakan daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik.
Skala penilaian dapat disusun dalam bentuk skala Likert atau skala semantic differential. Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena.  Sedangkan skala semantic differential yaitu skala untuk mengukur sikap, tetapi bentuknya bukan pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum di mana jawaban yang sangat positif terletak dibagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis, atau sebaliknya.
Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala semantic differential adalah data interval. Skala bentuk ini biasanya digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.[11]
3.      Penilaian Antar teman
Penilaian antarteman; merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan temannya dalam berbagai hal.[12]
Teknik penilaian diri atau pelaporan diri didefinisikan sebagai teknik penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif.[13]
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didikuntuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek dan skala penilaian (rating scale) dengan tekniksosiometri berbasis kelas. Guru dapat menggunakan salah satu dari keduanya atau menggunakandua-duanya.[14]
Angket adalah daftar pertanyaan tertulis yang terperinci dan lengkapyang harus dijawab oleh responden tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya degan mengadakan komunikasi tertulis, dengan memberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh responden secara tertulis juga.[15]


4.      Jurnal
 Jurnal; merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik yang terkait dengan kinerja ataupun sikap peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif.[16]
Instrumen yang digunakan paada penilaian jurnal adalah catatan anekdok (catatan insidental),  yang berupa sikap spiritual dan sikap sosial anak. Anecdotal record atau catatan anekdot adalah instrumen obervasi yang digunakan untuk mencatat kejadiankejadian penting yang muncul diluar kasus yang sedang diamati.[17]
Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Kelebihan yang ada pada jurnal adalah peristiwa/kejadian dicatat dengan segera. Dengan demikian, jurnal bersifat asli dan objektif dan dapat digunakan untuk memahami peserta didik dengan lebih tepat. Sementara itu, kelemahan yang ada pada jurnal adalah reliabilitas yang dimiliki rendah, menuntut waktu yang banyak, perlu kesabaran dalam menanti munculnya peristiwa sehingga dapat mengganggu perhatian dan tugas guru, apabila pencatatan tidak dilakukan dengan segera, maka objektivitasnya berkurang. Terkait dengan pencatatan jurnal, maka guru perlu mengenal dan memperhatikan perilaku peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Aspek-aspek pengamatan ditentukan terlebih dahulu oleh guru sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajar. Aspek-aspek pengamatan yang sudah ditentukan tersebut kemudian dikomunikasikan terlebih dahulu dengan peserta didik di awal semester.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jurnal adalah:
1)      Catatan atas pengamatan guru harus objektif
2)      Pengamatan dilaksanakan secara selektif, artinya yang dicatat hanyalah kejadian / peristiwa yang berkaitan dengan Kompetensi Inti.
3)      Pencatatan segera dilakukan (jangan ditunda-tunda).[18]
B.     Fungsi dari Setiap Bentuk Instrumen Non-Test
1.      Observasi
a.       Merupakan sumber informasi yang amat berguna untuk menganalisis perkembangan belajar siswa.
b.      Guru dapat melihat proses siswa mendapatkan prestasi: saat melakukan kesalahan, saat aktif, frustasi, termotivasi, marah, tidak setuju, gembira, dan sebagainya hingga akhirnya berhasil.
c.       Merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi sejauh mana sikap siswa menjadi dasar penilaian yakni sebagai validitas internal.[19]
2.      Penilaian diri
a.       Adapun karakter yang diukur adalah 5 jujur, disiplin, kerja keras, dan mandiri yang berhubungan dengan pembentukan sikap ilmiah.[20]
b.      Teknik ini dianggap sebagai teknik yang paling dapat diandalkan untuk mengungkapkan aspek psikologis seseorang, hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya asumsi bahwa yang paling mengenal seseorang adalah dirinya sendiri.[21]
c.       Teknik self assessment untuk menilai disiplin, menghargai, dan tanggung jawab.[22]

3.      Penilaian antar teman
a.    Mengetahui kekurangan dirinya di mata temannya
b.    Dapat menjadi bahan evaluasi diri
c.    Sebagai refleksi diri untuk dapat lebih baik
4.      Jurnal
a. Mengetahui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi pembelajaran
b.     Sebagai feedback pengembangan dan perbaikan pembelajaran
c. Untuk memperoleh masukan/feedback bagi peningkatan profesionalisme guru mendeteksi kekuatan dan kelemahan berdasar persepsi siswa
d.    Pembinaan sikap siswa dengan memperhatikan teori pembentukan dan perubahan sikap.[23]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam dunia pendidikan Indonesia, peraturan mengenai penilaian domain sikap tertuang dalam Permendikbud No. 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, dimana penilaian sikap siswa dilakukan melalui metode observasi, penilaian diri (self assesment), penilaian antar peserta didik (peer evaluation), maupun jurnal.
                        Manfaat tiap-tiap bentuk instrumen non-test
Observasi:  menjadi sumber informasi yang amat berguna untuk menganalisis perkembangan belajar siswa.
Guru dapat melihat proses siswa mendapatkan prestasi: saat melakukan kesalahan, saat aktif, frustasi, termotivasi, marah, tidak setuju, gembira, dan sebagainya hingga akhirnya berhasil.
Merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi sejauh mana sikap siswa menjadi dasar penilaian yakni sebagai validitas internal.
Penilaian diri:  Adapun karakter yang diukur adalah 5 jujur, disiplin, kerja keras, dan mandiri yang berhubungan dengan pembentukan sikap ilmiah.
Teknik ini dianggap sebagai teknik yang paling dapat diandalkan untuk mengungkapkan aspek psikologis seseorang, hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya asumsi bahwa yang paling mengenal seseorang adalah dirinya sendiri.
Teknik self assessment untuk menilai disiplin, menghargai, dan tanggung jawab.

Penilaian antar teman: Mengetahui kekurangan dirinya di mata temannya                                                   Dapat menjadi bahan evaluasi diri
Sebagai refleksi diri untuk dapat lebih baik
Jurnal: Mengetahui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi pembelajaran
Sebagai feedback pengembangan dan perbaikan pembelajaran
Untuk memperoleh masukan/feedback bagi peningkatan profesionalisme guru mendeteksi kekuatan dan kelemahan berdasar persepsi siswa
Pembinaan sikap siswa dengan memperhatikan teori pembentukan dan perubahan sikap.




















DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2012.  Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, cet. Ke-1 (Jakarta: Bumi Aksara).
Endrayanto, Herman Yosep Sunu  dan Harumurti, Yustiana Wahyu. 2018.  Penilaian Belajar Siswa di Sekolah, cet. Ke-5 (Yogyakarta: Penerbit Kanisiua).
Ratnawulan, Elis dan Rusdiana.  2017.  Evaluasi Pembelajaran, cet. Ke-2 (Bandung:Pustaka Setia).
Sudjana, Nana. 2011.  Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, cet. Ke-16 (Bandung: Remaja Rosdakarya).



[1] Elis Ratnawulan dan Rusdiana, Evaluasi Pembelajaran, cet. Ke-2 (Bandung:Pustaka Setia, 2017), 191.
[2] Herman Yosep Sunu Endrayanto dan Yustiana Wahyu Harumurti, Penilaian Belajar Siswa di Sekolah, cet. Ke-5 (Yogyakarta: Penerbit Kanisiua, 2018), 147.
[3] Ibid.,200.
[4] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, cet. Ke-16 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 67.
[6] Herman Yosep Sunu Endrayanto dan Yustiana Harumurti, Penilaian Belajar Siswa di Sekolah,155.
[7] Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, cet. Ke-1 (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 41-46.
[15] Elis Ratnawulan dan Rusdiana, Evaluasi Pembelajaran, cet. Ke-2 (Bandung: Pustaka Setia, 2017),  201-204.
[19] Herman Yosep Sunu Endrayanto dan Yustiana Wahyu Harumurti, Penilaian Belajar Siswa di Sekolah, 151-157.