BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat
ini, banyak suara-suara miring yang diperdengarkan oleh para ahli dan
masyarakat pada umumnya tentang persoalan moralitas anak bangsa yang diduga
telah berjalan dan mengalir ke luar dari garis-garis humanitas yang sejati.
Banyak kalangan yang mengkhawatirkan
akan dan atau bahkan mungkin telah adanya dekadensi moral berkepanjangan yang
tentu akan meniscayakan penurunan harkat dan martabat kemanusiaan. Kondisi
kemanusiaan semacam ini dipertegas lagi dengan derasnya arus informasi dan
komunikasi di era globalisasi saat ini yang mana setiap saat orang berhadapan
dengan berbagai macam pandangan, ideologi dan gaya hidup yang sedemikian rupa
yang dapat saja menggoncangkan kestabilan moralitas yang telah terbangun rapi
selama ini. Bahkan kondisi ini tidak jarang pula akan menerpa sendi-sendi
kehidupan keberagamaan sebagai bangunan dasar moralitas itu sendiri.
Kualitas
kemanusiaan selalu berkenaan dengan nilai-nilai agama yang teraplikasi dalam
kehidupan nyata, baik dalam kehidupan individual dan sosial, maupun dalam
bentuk hubungan dengan alam dan Penciptanya. Atas dasar tesis ini pula, wajar
jika persoalan agama merupakan persoalan yang tidak akan pernah gersang untuk
ditelaah. Kecuali itu, eksistensi moral inipun sangat menentukan bagi kualitas
manusia sebagai agen perubahan atau pembuat sejarah. Hal ini semakin bermakna
jika dihubungkan dengan sasaran fundamental setiap aspek psiko-relijius dan
psiko-sosial manusia yang secara nyata memang bersentuhan langsung dengan persoalan
moral. Bahkan Islam sendiri memberikan keyakinan ontologisnya bahwa tugas pokok
kenabian sendiri tidak lain adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan moral
manusia. Dengan
demikian perangkat peraturan perundang-undangan hendaknya dilihat sebagai prasyarat
minimal untuk menuju ke arah yang lebih bersifat penyadaran (conscientization). Maksudnya, kesadaran bahwa manusia hidup di
tengah pluralitas3 sosial, budaya, ekonomi dan agama.4 Ini jelas lebih rumit ketimbang sekadar
menciptakan regulasi dan bersifat gradual serta inkremental karena membutuhkan
stamina yang cukup dan waktu yang lama. Apabila proses penyadaran ini berhasil,
kita dapat menangguk hasil yang lebih permanen. Kiat-kiat diversivikatif untuk
menandai berjalannya proses penyadaran yang lebih tahan lama ini bisa ditempuh
melalui beberapa cara, di antaranya lewat jalur pendidikan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan?
2. Bagaimana fungsi dan tujuan pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan?
3. Bagaimana Kebiajakan Pendidikan Terkait Pendidikan Agama Dan Pendidikan
Keagamaan Dalam Pp No. 55 Tahun 2007?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui Pengertian Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan.
2. Untuk mengetahui fungsi dan tujuan
pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan.
3. Untuk mengetahui Kebiajakan Pendidikan Terkait Pendidikan Agama Dan
Pendidikan Keagamaan Dalam Pp No. 55 Tahun 2007.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut
penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama
dan mengamalkan ajaran agamanya.
B. FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan
agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan
kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan agama bertujuan untuk
berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan keagamaan bertujuan untuk
terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis,
kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
C. KEBIAJAKAN PENDIDIKAN TERKAIT PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DALAM PP NO. 55 TAHUN 2007
PP NO. 55 Tahun 2017
BAB II
PENDIDIKAN AGAMAN
Pasal 3
(1) Setiap
satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2) Pengelolaan
pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Pendidikan
agama pada pendidikan formal dan program pendidikan
kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah
agama.
(2) Setiap
peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan
agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh
pendidik yang seagama.
(3) Setiap
satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4) Satuan
pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan satuan
pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat
untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
(5) Setiap
satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan
kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah
berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik.
(6) Tempat
melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa
ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat
digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
(7) Satuan
pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban
membangun rumah ibadah agama lain selain yang
sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Pasal 5
(1) Kurikulum
pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar
Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan
agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan
kejiwaan peserta didik.
(3) Pendidikan
agama mendorong peserta didik untuk taat
menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan seharihari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan seharihari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan
agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama
yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan
agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap
dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras,
mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif,
tulus, dan bertanggung jawab.
(6) Pendidikan
agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis,
sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki
kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan
agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan
kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan
pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai
kebutuhan.
(9) Muatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi,
jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Pasal 6
(1) Pendidik
pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pendidik
pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat disediakan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan.
pendidikan yang bersangkutan.
(3) Dalam
hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya,
maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib
menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Pasal 7
(1) Satuan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat
(7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b.
satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh
bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan
dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c.
satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan
oleh pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan
daerah yang mengembangkannya setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan
lebih lanjut tentang sanksi administrative sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta
tentang pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1) Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama.
(2) Pendidikan
keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan
mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang
berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9
(1) Pendidikan
keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2) Pendidikan
keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal.
(3) Pengelolaan
pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.
Pasal 10
(1) Pendidikan
keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang
bersumber dari ajaran agama.
(2) Penyelenggaraan
pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan
untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau
melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
Pasal 11
(1) Peserta
didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah
(MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
setelah memenuhi persyaratan.
(2) Hasil
pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai
sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan
setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Peserta
didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal
yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal
umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada
pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
Pasal 12
(1) Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber
daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2) Pemerintah
melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan
keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan
pendidikan nasional.
(3) Pemerintah
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi
atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar
Nasional Pendidikan.
(4) Akreditasi
atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan
dari Menteri Agama
Pasal 13
(1) Pendidikan
keagamaan dapat berbentuk satuan atau program
pendidikan.
(2) Pendidikan
keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau masyarakat.
(3) Pendirian
satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin
dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Syarat
pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b.
jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d.
sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan
sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik
berikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
e. sistem evaluasi; dan
f. manajemen dan proses pendidikan.
(5) Ketentuan
lebih lanjut tentang syarat-syarat pendirian satuan
pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur dengan
Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6) Pendidikan
keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk
satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas)
orang atau lebih merupakan program pendidikan yang
wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota.
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengembangan pendidikan
agama dan keagamaan pada sekolah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi,
standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta
sarana dan prasarana pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada
sekolah juga mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Pendidikan keagamaan pada
umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan
keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama
disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan
keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang
dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya
dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan
yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan
formal, nonformal atau informal.
DAFTAR PUSTAKA
PP NOMOR 55 TAHUN 2007
TERKAIT PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN
KEAGAMAAN
“Studi Kebijakan Pendidikan Indoensia”

Dosen Pembimbing:
Wiwin Rif’atul Fauziyati, M.Pd.
Disusun Oleh kelompok : 8
Mualifah Khoirunnisa 210317316
Maulana Imam Jalaludin 210317319
Kelas:
PAI J
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO

Tidak ada komentar:
Posting Komentar