Sabtu, 29 Februari 2020

PP NOMOR 55 TAHUN 2007 TERKAIT PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Saat ini, banyak suara-suara miring yang diperdengarkan oleh para ahli dan masyarakat pada umumnya tentang persoalan moralitas anak bangsa yang diduga telah berjalan dan mengalir ke luar dari garis-garis humanitas yang sejati. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan akan dan atau bahkan mungkin telah adanya dekadensi moral berkepanjangan yang tentu akan meniscayakan penurunan harkat dan martabat kemanusiaan. Kondisi kemanusiaan semacam ini dipertegas lagi dengan derasnya arus informasi dan komunikasi di era globalisasi saat ini yang mana setiap saat orang berhadapan dengan berbagai macam pandangan, ideologi dan gaya hidup yang sedemikian rupa yang dapat saja menggoncangkan kestabilan moralitas yang telah terbangun rapi selama ini. Bahkan kondisi ini tidak jarang pula akan menerpa sendi-sendi kehidupan keberagamaan sebagai bangunan dasar moralitas itu sendiri.
Kualitas kemanusiaan selalu berkenaan dengan nilai-nilai agama yang teraplikasi dalam kehidupan nyata, baik dalam kehidupan individual dan sosial, maupun dalam bentuk hubungan dengan alam dan Penciptanya. Atas dasar tesis ini pula, wajar jika persoalan agama merupakan persoalan yang tidak akan pernah gersang untuk ditelaah. Kecuali itu, eksistensi moral inipun sangat menentukan bagi kualitas manusia sebagai agen perubahan atau pembuat sejarah. Hal ini semakin bermakna jika dihubungkan dengan sasaran fundamental setiap aspek psiko-relijius dan psiko-sosial manusia yang secara nyata memang bersentuhan langsung dengan persoalan moral. Bahkan Islam sendiri memberikan keyakinan ontologisnya bahwa tugas pokok kenabian sendiri tidak lain adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan moral manusia. Dengan demikian perangkat peraturan perundang-undangan hendaknya dilihat sebagai prasyarat minimal untuk menuju ke arah yang lebih bersifat penyadaran (conscientization). Maksudnya, kesadaran bahwa manusia hidup di tengah pluralitas3 sosial, budaya, ekonomi dan agama.4 Ini jelas lebih rumit ketimbang sekadar menciptakan regulasi dan bersifat gradual serta inkremental karena membutuhkan stamina yang cukup dan waktu yang lama. Apabila proses penyadaran ini berhasil, kita dapat menangguk hasil yang lebih permanen. Kiat-kiat diversivikatif untuk menandai berjalannya proses penyadaran yang lebih tahan lama ini bisa ditempuh melalui beberapa cara, di antaranya lewat jalur pendidikan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pengertian Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan?
2.      Bagaimana fungsi dan tujuan pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan?
3.      Bagaimana Kebiajakan Pendidikan Terkait Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Dalam Pp No. 55 Tahun 2007?

C.    TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Untuk mengetahui Pengertian Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan.
2.      Untuk mengetahui  fungsi dan tujuan pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan.
3.      Untuk mengetahui Kebiajakan Pendidikan Terkait Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Dalam Pp No. 55 Tahun 2007.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
B.     FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Menurut PP No. 55 tahun 2007; Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
C.    KEBIAJAKAN PENDIDIKAN TERKAIT PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DALAM PP NO. 55 TAHUN 2007
PP NO. 55 Tahun 2017
BAB II
PENDIDIKAN AGAMAN
Pasal 3
(1)        Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis   pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
(2)        Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.

Pasal 4
(1)        Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesetaraan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(2)        Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3)        Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
(4)        Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau penyelenggara pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
(5)        Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik.
(6)        Tempat melaksanakan ibadah agama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya.
(7)        Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.

Pasal 5
(1)        Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2)        Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3)        Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat
menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan seharihari dan menjadikan
agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4)        Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5)        Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6)        Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7)        Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8)        Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9)        Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi. 

Pasal 6
(1)        Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2)        Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan.
(3)        Dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakannya sesuai kebutuhan satuan pendidikan.

Pasal 7
(1)        Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 5 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan setelah diadakan pembinaan/pembimbingan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2)        Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh Menteri
setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama;
b. satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
c. satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan oleh pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional dilakukan oleh kepala pemerintahan daerah yang mengembangkannya setelah memperoleh pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi atau Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
(3)        Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, serta tentang pendidik pendidikan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri Agama.


BAB III
PENDIDIKAN KEAGAMAAN
Pasal 8
(1)        Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(2)        Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Pasal 9
(1)        Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
(2)        Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(3)        Pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama.

Pasal 10
(1)        Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama.
(2)        Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.

Pasal 11
(1)        Peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
(2)        Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3)        Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.

Pasal 12
(1)        Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan.
(2)        Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
(3)        Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(4)        Akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama

Pasal 13
(1)        Pendidikan keagamaan dapat berbentuk satuan atau program pendidikan.
(2)        Pendidikan keagamaan dapat didirikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
(3)        Pendirian satuan pendidikan keagamaan wajib memperoleh izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk.
(4)        Syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. isi pendidikan/kurikulum;
b. jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan;
c. sarana dan prasarana yang memungkinkan
terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
d. sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang-kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya;
e. sistem evaluasi; dan
f. manajemen dan proses pendidikan.
(5)        Ketentuan lebih lanjut tentang syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatur dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.
(6)        Pendidikan keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang atau lebih merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.












BAB II
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pengembangan pendidikan agama dan keagamaan pada sekolah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.








DAFTAR PUSTAKA



PP NOMOR 55 TAHUN 2007
TERKAIT PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
“Studi Kebijakan Pendidikan Indoensia”
Description: Description: Description: IAIN_KECIL.png
Dosen  Pembimbing:
Wiwin Rif’atul Fauziyati, M.Pd.
Disusun Oleh kelompok : 8
Mualifah Khoirunnisa                210317316
Maulana Imam Jalaludin            210317319
Kelas: PAI J
    JURUSAN TARBIYAH
  PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
                          INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
     2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar