Sabtu, 29 Februari 2020

pemikiran NAQUIB AL-ATTAS


A.      BIOGRAFI  MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
  Syed Muhammad Naquib Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Muhsin Al Attas lahir pada tangga 5 September 1931 di Bogor Jawa Barat. Ayahnya bernama Syed Ali Al-Attas yang berasal dari Saudi Arabia yang masih termasuk bangsawan di Johor. Ayahnya memiliki silsilah keturunan dari ahli tasawuf yang sangat terkenal dari kelompok sayyid dengan silsilah yang sampai pada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad. Sedangkan Ibunya bernama Syarifah Raquan Al-„Aydarus (AlIdrus), berasal dari Bogor Jawa Barat dan merupakan keturunan Ningrat Sunda di Sukapura.[1]
Ketika berusia 5 tahun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar Ngge Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika jepang menguasai Malaysia, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, beliau kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat Naqsabandiyah.[2]  
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat  masuk Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh. Alasan dia mengambil judul tersebut? karena ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan di kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya islam sendiri.[3]
Al-Attas dalam rangka memperdalam dan memperluas wawasan  intelektual melanjutkan studinya ke School of Orientalis and African Studies (SOAS) di Universitas London. Disinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang memiliki pengaruh besar dalam diri al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama lebih kurang dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, al-Attas menyelesaikan studinya dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticisme of Hamzah Fansuri.[4]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar