Senin, 20 Juli 2020

Istinbath dan Istidlal


ISTINBATH DAN ISTIDLAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Masa’il Fiqhiyah
Dosen  Pengampu:
Ahmad Askhabul Kahfi, M.Ag
Disusun oleh :
Kelompok 3
Dandi Alvianto                                              210317232
Mega Nur Wahyuni                                      210317340
Mualifah Khoirunnisa                                  210317316

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONOROGO
                                                              2020                        

A.    Latar Belakang
Rasulullah telah meninggalkan warisan penting untuk dipedomi oleh umatnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Setelah Rasulullah wafat permasalahan umat Islam bermunculan. Rasulullah sendiri telah memerintahkan dalam penyelesaian masalah itu sendiri harus berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah. Namun dengan berjalannya waktu permasalahan yang dihadapi semakin meluas dan penjelasan atau hukum pada al-Qur’an dan Sunnah tidak ada. Maka para sahabat melakukan Ijtihad dengan berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Dari pelaksanaan Ijtihad tadi lahirlah fiqih. Dalam hasil ijtihad tadi banyak perbedaan di kalangan sahabat karena faktor daerah, budaya dan rasio dari tabi’in itu sendiri yang akhirnya lahirlah beberapa imam madzab pada ranah fiqih.
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber hukum pokok dari Islam.  Ada juga sumber-sumber hukum yang lain seperti istihsan, istishab dan lain-lain yang merupakan alat bantu kepada hukum-hukum yang ada pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ulama menyebutnya dengan istimbath. Oleh karena itu dibawah ini penulis akan menjelaskan apa itu istimbath dan istidlal.
B.     Pengertian Istinbath Dan Istidlal
Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin Ali Al-Fayyuni ahli Bahasa Arab dan Fiqih, berarti upaya menarik hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.[1]
Istinbath berasal dari kata “nabth” yang berarti: “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali” dengan demikian menurut bahasa, arti istinbath ialah mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Setelah dipakai sebagai istilah dalah studi hukum Islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Maka istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.[2]
Secara bahasa الإستدلال  adalah طلب ادليل (mencari dalil). Sedangkan secara istilah adalah ما ليس بنص و لا اجماع و لا قياس (sesuatu dalil syara’ yang bukan nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah), juga bukan al-ijma’ dan al-qiyas).
Telah diuraikan bahwa dalil syar’i yang telah disepakati para Ulama’ adalah Al-Qur’an, as-Sunnah (dalil Nash) dan al-ijma’ serta al-qiyas. Disamping dalil yang telah disepakati itu masih ada dalil yang belum disepakati yakti disebut dengan istidlal, oleh karenanya masalah ini disebut dengan mencari dalil di luar nash (al-Qur’an, al-Hadis) dan al-ijma’ serta al-qiyas. Atau dengan kata lain istidlal itu adalah sesuatu yang dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’, sedangkan sesuatu itu tadi bukan ketentuan hukum al-Qur’an dan al-Hadis, ijma’ dan qiyas.[3]
Istinbath dan istidlal merupakan cara untuk menentukan hukum yang bersumber dari sumber hukum Islam. Istinbath berarti memunculkan hukum dari sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan istidlal berarti mencari dalil yang tidak ada pada sumber-sumber hukum Islam.  Jadi apabila terdapat permasalahan yang hukumnya belum tercantum dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun qiyas, untuk menentukan hukumnya perlu dilakukan istidlal (menemukan dalil hukum).
C.    Syarat-Syarat Istinbath
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath adalah sebagai berikut:
1.    Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.
2.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
3.    Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan ijma’.
4.    Memilki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.
5.    Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilakn kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
6.    Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan al-Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.[4]
Orang yang akan melakukan istinbath hukum harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Syarat-syarat tersebut sebagai bekal dalam pengambilan hukum. Beberapa syarat tersebut seseorang hasrus memiliki pengetahuan dan ilmu yang memadai terkait dengan istinbath hukum yang akan dilakukan.

D.    Sumber Hukum Dalam Istinbath
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan Hukum Islam. seluruh fuqaha’ dan umat Islam menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dari hukum Islam. Segi kebenarannya sebagai sumber, maka al-Qur’an adalah merupakan sumber dari segala sumber. Dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari al-Qur’an.[5]
2.      As-Sunnah
Dari segi kehujahannya ia merupakan sumber dalam melakukan istinbath hukum dan menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an tetang peristiwa yang terjadi, mereka mencari dalam sunnah.[6]
3.      Ijma’
Berbagai pandangan yang muncul di kalangan ulama’ ushul baik klasik maupun kontemporer bahwa ijma’ merupakan salah satu dalil hukum. Bahwa ijma’ menempati posisi tersendiri sebagai dalil hukum.[7]
4.      Qiyas
Mayoritas ulama ushul (fuqoha’) menyatakan bahwa qiyas adalah dalik hukum. Sebab, dalam sistematika ushul mereka qiyas dikelompokkan dalam urutan dalil dan menempati posisi ke empat sesudah al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dengan menyatakan qiyas sebagai dalil sebenernya tidak bisa berdiri sendiri, karena ia harus berpijak pada nash al-Qur’an dan sunnah atau ijma’.[8]
Sumber hukum Islam yang disepakati oleh seluruh ulama ada 4. Yaitu al-Qur’an dan hadis yang merupakan dalil yang langsung dari Allah dan Rasulullah yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan sumber hukum yang bersumber dari akal manusia. Yang keempatnya disepakati sebagai sumber hukum Islam.
E.     Macam-Macam Istidlal
Yang termasuk Istidlal adalah:
1.      Al-Istishab
Kata istishab secara bahasa mengandung arti meminta ikut serta secara terus menerus. Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya.[9]
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadiakn hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan perubahannya.[10]
Maka penulis menyimpulakan bahwa Istishab adalah ketetapan hukum yang telah ada sebelum datang dalil yang dapat merubah ketetapan hukum/meniadakan hukum yang ada sebelumnya.
2.      Al-Maslahah Al-Mursalah
Kata al-Maslahah semakna dan sewazan (setimbangan) dengan kata al-Manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-Maslahah merupakan bentuk mufrod yang jama’nya al-Masalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-maslahah merupakan segala yang mendatangkan mafaat baik melalui cara mengambil dan melakukan sesuatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemadhorotan dan kesulitan.[11]
Manfaat yang dimaksud oleh Allah adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahsil al-ibqa. Maksud tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung. Sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharatan dan sebab-sebabnya.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Marsalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempumyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. [12]

3.      Al-Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menggagapnya kebaikan.
Secara bahasa istihsan berasal dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti menganggap sesuatu baik.[13]
Menurut Istilah ulama ushul, Istihsan adalah sebagai berikut:
a.       Menurut Al- Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 :“Ihtisan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b.      Al Muwafiq Ibnu Qudamah Al- Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
c.       Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d.      Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Ihtisan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandangkan hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan  keadilan.”
e.       Muhammad Abu Zahrah, “ Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi.
Maka dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa  Ihtisan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia dan lain-lain.[14]
4.      Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa sadd berarti menutup dan al-zari’ah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Ada kalangan tertentu yang memaknai al-zari’ah secara khusus, yaitu suatu yang membawa kepada yang dilarang dan menimbulkan kemadhorotan. Dengan demikian saddu al-zari’ah  berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan.[15]
Pengertian sad Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah ” melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan.”
Dari pendapat tersebut diketahui bahwa sadd Adz-dzariah adalah perbuatan yang mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir pada suatu kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai zakat, namun sebelum haul ia menghibahkan hartanya kepada anaknya agar tidak dikenai zakat.
Dikalangan ulama ushul  terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum kehujjahan sad ad-zariyah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima salah satu dalil syara’. Sedangkan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah hanya dapat menerima sad al-dzariyah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya pada masalah-masalah lain.[16]
5.      Madzhab Sahabat
Setelah Rasulullah SAW wafat, tampilan para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang lama bergaul dengan Rasulullah SAW dan memahami al-Qur’an serta hukum-hukumnya.[17]
Kalau yang disampaikan sahabat itu secara pribadi tidak disertai oleh pendapat lain yang berbeda, diterima ulama ushul sebagai dalil syara’ dan ditempatkan sebagai ijma’ ulama dalam bentuk sekuti, namun kalau pendapat tandingan dari sahabat lain, sulit menempatkannya sebagai dalil hukum. Karena hukum syara’ itu hanya satu. Oleh karena itu, kedudukanya sebagai dalil hukum syara’ menjadi perbedaan dikalangan ulama, kebanyakan ulama’ tidak menempatkan sebagai dalil. Meskipun demikian, sebagian ulama’ mengambilnya sebagai pertimbangan waktu penetapkan hukum atau sebagai penguat atas suatu dalil yang digunakan dalam menentukan hukum.[18]
6.      Syara’ Ummat sebelum Kita
Adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa as.[19]
Syariat yang dimaksud adalah syariat yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama.
7.      Al-Uruf wal’Adah
Urf secara bahasa berarti sesuatu yang telah dikenal dan dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Dalam kajian ushul fiqh, urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram. Dalam konteks ini, istilah urf sama dan semakna dengan istilah al-‘Adah (adat istiadat).[20]
Pengertian diatas juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh urf  yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian diantara manusia tentang jual beli tampa mengucapkan sighatnya.
Urf  menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’  tersendiri. Pada umumnya, ‘urf ditunjukan untuk memelihara kemaslahatan umut serta menunjang pembentuakan hukum dan penafsiran beberapa nash.[21]


8.      Dalalah Al-Iqtiran[22]
Adalah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain. Abu Hurairah dari kalangan syafi’iyah menyatakan pendapat di jadikan hujjah.

F.     Contoh Istinbath Dan Istidlal Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Metode istinbath yang digunakan DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara tidak tunai adalah berdasarkan al-Qurân, hadis Nabi Saw, kaidah ushul, kaidah fiqh, dan pendapat para ulama, dengan penjelasan sebagai berikut:
1.       Firman Allah SWT dalm QS Al-baqarah Ayat 275 :
"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …"
Lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya tentang jual beli yaitu mencantumkan ayat al-Qurân di atas, yaitu dalil al-Qurân yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual beli yaitu QS. al-Baqarah ayat 275.
2.      Hadis Nabi Saw
Dalil-dalil dari hadis Nabi Saw ada enam hadis yang digunakan untuk menjadi landasan fatwa, empat diantaranya yaitu :
a.          Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan emas haruslah secara tunai.
b.        Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai.
c.         Hadis tentang larangan menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya dan tidak menambah sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak tunai dengan yang tunai.
d.        Hadis tentang larangan untuk menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai) Empat hadis di atas secara tegas dan eksplisit melarang transaksi emas dengan cara tidak tunai (tangguh/cicil) .
Sedangkan dua hadis lain berkaitan dengan dasar dalam berjual beli yaitu;
a.         Hadis tentang jual beli harus berdasarkan kerelaan pihak yang bertransaksi.
b.        Hadis tentang musyawarah dilakukan bukan untuk mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Kedua hadis diatas menerangkan bagaimana proses musyawarah dalam
mengambil sebuah hukum (termasuk hukum berjual-beli), yang mengisyaratkan bahwa pengambilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidakmengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Menurut DSN-MUI, saat ini masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas dan perak sebagai uang, tetapi sebagai barang (sil’ah). Karena itu, jual beli emas dan perak secara tangguh diperbolehkan. Hal inisesuai dengan kaidah ushul yang menjadi landasan DSN-MUI.
3.       Kaidah Ushul
Kaidah Ushul dalam fatwa yang digunakan adalah “hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya ‘illat”. Kaidah ini merupakan kaidah dalam syariah yang sifatnya merupakan kelaziman dalam mengambil hukum.Kaidah ini mereferensi dari buku yang ditulis Ali Ahmad al-Nadawiy.
4.       Kaidah Fiqih
DSN-MUI menyebukan 4 kaidah fi kih, dimana 3 diantaranya menyebutkan esensi kaidah yang sama yaitu :
a.    Adat (kebiasaan masyarakat) dijadikan dasar penetapan hukum.
b.   Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam muamalat.
c.     Setiap hukum yang didasarkan pada suatu ‘urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak berlaku) ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun berubah. Dan yang keempat adalah kaidah dasar dalam bermualah :
d.    Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali adalil yang mengharamkannya.
5.      Pendapat Para Ulama Yang Membolehkan.
Dalam fatwanya, DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka mengemukakan Bahwa Pertama, emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang dijual dan dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga, alat pembayaran,uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan merupakan tsaman (harga, alat pembayaran, uang).
Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.
Kedua, Pada zaman ini manusia sangat membutuhkan untuk melakukan jual beli emas. Apabila tidak diperbolehkan jual beli emas secara angsuran, maka rusaklah kemaslahatan manusia dan mereka akan mengalami kesulitan. Sekiranya pintu (jual beli emas secara angsuran)ini ditutup, maka tertutuplah pintu utang piutang, masyarakat akan mengalami kesulitan yang tidak terkira. Dengan demikian, dalam penetapan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai DSN-MUI mengacu pada prosedur penetapan metode Istidlal kemudian di istinbathkan dengan hukum mubah dalam jual beli emas tidak tunai, metode yang digunakan DSN yaitu metode Istinbath Istislahi yaitu penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Hal ini semata-mata untuk menjaga bahwa fatwa yang dikeluarkan DSN secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah dalam menentukan fatwa.[23]
  1. Kesimpulan
   Istinbath dan istidlal merupakan dua metode dalam pengambilan hukum Islam. Keduanya merujuk pada sumber hukum Islam. Istinbath merupakan mengambil hukum atas sesuatu yang baru dari sumber hukum Islam.  Sedangkan istidlal adalah metode pencarian dalil hukum atas sesuatu perkara yang belum terdapat dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun qiyas.
   Seseorang yang melakukan istinbath harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya: harus memiliki ilmu dan pengetahuan mengenai cara istinbath hukum, memiliki ilmu dan wawasan mengenail sumber-sumber hukum Islam, memiliki ilmu dan wawasan mengenai bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an, dan masih banyak lainnya.
Yang termasuk Istidlal adalah istishab secara bahasa mengandung arti meminta ikut serta secara terus menerus. Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya. Al-Maslahah Al-Mursalah semakna dan sewazan (setimbangan) dengan kata al-Manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-Maslahah merupakan bentuk mufrod yang jama’nya al-Masalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-maslahah merupakan segala yang mendatangkan mafaat baik melalui cara mengambil dan melakukan sesuatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemadhorotan dan kesulitan. Al-Istihsan, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menggagapnya kebaikan. Secara bahasa istihsan berasal dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti menganggap sesuatu baik. Saddudz Dzari’ah kalangan tertentu yang memaknai al-zari’ah secara khusus, yaitu suatu yang membawa kepada yang dilarang dan menimbulkan kemadhorotan. Dengan demikian saddu al-zari’ah  berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Madzhab Sahabat, Syara’ Ummat sebelum Kita, Al-Uruf wal’Adah.
Contohnya adalah seperti pembelian perhiasa emas dengan tidak tunai atau kredit dengan sistem pembayaran dicicil. Yang sesungguhnya cara tersebut termasuk dalam riba karena ada penambahan harga di dalamnya. Namun karena kebutuhan masyarakat yang merasa diuntungkan dengan cara pembelian tersebut tanpa merasa dirugikan sama sekali, maka diambillah hukum dari pembelian emas secara dicicil tersebut diperbolehkan.
Daftar Pustaka
Amirudin, Zen. 2009. Ushul Fiqih .Yogyakarta: Teras, 2009.
Bagir, Haydar dan Syafiq Basri. 1996.  Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung. Mizan Anggota IKAPI.
Effendi, Satria. 2008. Ushul Fiqh . Jakarta. Kencana Renada Media Grou
SA, Romli SA. 2014.  Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Syarifuddin, Amir . 2008. Ushul Fiqh .Jakarta. Prenada Media Group.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh . Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2012.
Zamani, Ahmad Zakki. 2016. Istidlal Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai, Vol.15, No.1 Jurnal Al-Banjari, 2016.


[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Renada Media Group, 2008), 178.
[2] Ahmad Zakki Zamani, Istidlal Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai, Vol.15, No.1 Jurnal Al-Banjari, 2016, 85.
[3] Zen Amirudin, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Teras, 2009), 173.
[4] Haydar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung:Mizan Anggota IKAPI, 1996), 29.
[5] Romli SA, Studi Perbandingan Ushul Fiqh (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014), 80-82.
[6] Romli SA, Studi Perbandingan Ushul..., 99.
[7] Romli SA, Studi Perbandingan Ushul..., 119.
[8] Romli SA, Studi Perbandingan Ushul...., 189.
[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), 107.
[10] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015 ),125
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 81.
[12] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih, 117.
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , 77.
[14] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih,111-112.
[15] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 19.
[16] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih, 135.
[17] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih, 141.
[18] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2012), 77
[19] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 115.
[20] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 996-97.
[21] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih, 131.
[22] Zen Amirudin, Ushul Fiqih, 74
[23] Ahmad Zakki Zamani, Istidlal Fatwa Dewan...., 90-92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar