ISTINBATH DAN ISTIDLAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
”Masa’il Fiqhiyah”
Dosen Pengampu:
Ahmad Askhabul Kahfi, M.Ag
Disusun oleh :
Kelompok 3
Dandi Alvianto 210317232
Mega Nur Wahyuni 210317340
Mualifah Khoirunnisa 210317316
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONOROGO
A. Latar Belakang
Rasulullah telah meninggalkan warisan penting untuk dipedomi oleh
umatnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Setelah Rasulullah wafat permasalahan umat Islam bermunculan. Rasulullah
sendiri telah memerintahkan dalam penyelesaian masalah itu sendiri harus
berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah. Namun dengan berjalannya waktu
permasalahan yang dihadapi semakin meluas dan penjelasan atau hukum pada
al-Qur’an dan Sunnah tidak ada. Maka para sahabat melakukan Ijtihad dengan
berpedoman dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Dari pelaksanaan Ijtihad
tadi lahirlah fiqih. Dalam hasil ijtihad tadi banyak perbedaan di kalangan
sahabat karena faktor daerah, budaya dan rasio dari tabi’in itu sendiri yang
akhirnya lahirlah beberapa imam madzab pada ranah fiqih.
Al-Qur’an dan Sunnah
merupakan sumber hukum pokok dari Islam.
Ada juga sumber-sumber hukum yang lain seperti istihsan, istishab dan
lain-lain yang merupakan alat bantu kepada hukum-hukum yang ada pada Al-Qur’an
dan Sunnah. Dan ulama menyebutnya dengan istimbath. Oleh karena itu
dibawah ini penulis akan menjelaskan apa itu istimbath dan istidlal.
B. Pengertian Istinbath Dan Istidlal
Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan
oleh Muhammad bin Ali Al-Fayyuni ahli Bahasa Arab dan Fiqih, berarti upaya
menarik hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.[1]
Istinbath berasal dari kata “nabth” yang berarti: “air yang mula-mula
memancar keluar dari sumur yang digali” dengan demikian menurut bahasa, arti istinbath
ialah mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Setelah dipakai sebagai
istilah dalah studi hukum Islam, arti istinbath menjadi “upaya
mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Maka istilah ini hampir sama dengan ijtihad.
Fokus istinbath adalah teks suci al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi.
Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber
tersebut disebut istinbath.[2]
Secara bahasa الإستدلال adalah طلب ادليل (mencari dalil).
Sedangkan secara istilah adalah ما ليس بنص و لا اجماع و لا قياس (sesuatu
dalil syara’ yang bukan nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah), juga bukan
al-ijma’ dan al-qiyas).
Telah diuraikan bahwa dalil syar’i yang telah disepakati para Ulama’
adalah Al-Qur’an, as-Sunnah (dalil Nash) dan al-ijma’ serta al-qiyas. Disamping
dalil yang telah disepakati itu masih ada dalil yang belum disepakati yakti
disebut dengan istidlal, oleh karenanya masalah ini disebut dengan
mencari dalil di luar nash (al-Qur’an, al-Hadis) dan al-ijma’ serta al-qiyas.
Atau dengan kata lain istidlal itu adalah sesuatu yang dijadikan dalil
untuk menetapkan hukum syara’, sedangkan sesuatu itu tadi bukan ketentuan hukum
al-Qur’an dan al-Hadis, ijma’ dan qiyas.[3]
Istinbath dan istidlal merupakan cara untuk menentukan hukum yang bersumber
dari sumber hukum Islam. Istinbath berarti memunculkan hukum dari
sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan istidlal berarti mencari dalil yang
tidak ada pada sumber-sumber hukum Islam. Jadi apabila terdapat permasalahan yang
hukumnya belum tercantum dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun qiyas, untuk
menentukan hukumnya perlu dilakukan istidlal (menemukan dalil hukum).
C. Syarat-Syarat Istinbath
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath
adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki ilmu pengetahuan yang
luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.
2.
Memiliki pengetahuan yang luas
tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.
3.
Menguasai seluruh masalah yang
hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma, agar dalam menentukan hukum sesuatu,
tidak bertentangan dengan ijma’.
4.
Memilki pengetahuan yang luas
tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.
5.
Mengetahui ilmu logika, agar
dapat menghasilakn kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup
mempertanggung jawabkannya.
6.
Menguasai bahasa Arab secara
mendalam karena al-Qur’an dan al-Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.[4]
Orang yang akan melakukan istinbath hukum harus memenuhi
syarat-syarat tersebut. Syarat-syarat tersebut sebagai bekal dalam pengambilan
hukum. Beberapa syarat tersebut seseorang hasrus memiliki pengetahuan dan ilmu
yang memadai terkait dengan istinbath hukum yang akan dilakukan.
D. Sumber Hukum Dalam Istinbath
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber
utama dalam pembinaan Hukum Islam. seluruh fuqaha’ dan umat Islam menyatakan
bahwa al-Qur’an adalah sumber utama dari hukum Islam. Segi kebenarannya sebagai
sumber, maka al-Qur’an adalah merupakan sumber dari segala sumber. Dengan kata
lain, al-Qur’an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum dalam
berhujjah. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari
al-Qur’an.[5]
2.
As-Sunnah
Dari segi kehujahannya ia
merupakan sumber dalam melakukan istinbath hukum dan menempati urutan kedua
setelah al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an
tetang peristiwa yang terjadi, mereka mencari dalam sunnah.[6]
3.
Ijma’
Berbagai pandangan yang muncul
di kalangan ulama’ ushul baik klasik maupun kontemporer bahwa ijma’ merupakan
salah satu dalil hukum. Bahwa ijma’ menempati posisi tersendiri sebagai
dalil hukum.[7]
4.
Qiyas
Mayoritas ulama ushul (fuqoha’)
menyatakan bahwa qiyas adalah dalik hukum. Sebab, dalam sistematika ushul
mereka qiyas dikelompokkan dalam urutan dalil dan menempati posisi
ke empat sesudah al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Dengan
menyatakan qiyas sebagai dalil sebenernya tidak bisa berdiri sendiri,
karena ia harus berpijak pada nash al-Qur’an dan sunnah atau ijma’.[8]
Sumber hukum Islam yang disepakati oleh seluruh ulama ada 4. Yaitu
al-Qur’an dan hadis yang merupakan dalil yang langsung dari Allah dan
Rasulullah yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Sedangkan ijma’ dan qiyas
merupakan sumber hukum yang bersumber dari akal manusia. Yang keempatnya
disepakati sebagai sumber hukum Islam.
E. Macam-Macam Istidlal
Yang termasuk Istidlal adalah:
1.
Al-Istishab
Kata istishab secara
bahasa mengandung arti meminta ikut serta secara
terus menerus. Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang
telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang
merubah kedudukannya.[9]
Istishab secara harfiah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan
menurut ulama ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadan sebelumnya sampai
terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadiakn hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadanya sampai
terdapat dalil yang menunjukan perubahannya.[10]
Maka penulis menyimpulakan bahwa Istishab adalah
ketetapan hukum yang telah ada sebelum datang dalil yang dapat merubah
ketetapan hukum/meniadakan hukum yang ada sebelumnya.
2.
Al-Maslahah Al-Mursalah
Kata al-Maslahah semakna
dan sewazan (setimbangan) dengan kata al-Manfaat, yaitu bentuk masdar
yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-Maslahah merupakan
bentuk mufrod yang jama’nya al-Masalih. Dari makna kebahasaan ini
dipahami bahwa al-maslahah merupakan segala yang mendatangkan mafaat
baik melalui cara mengambil dan melakukan sesuatu tindakan maupun dengan
menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemadhorotan dan
kesulitan.[11]
Manfaat yang dimaksud oleh Allah adalah sifat
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban
nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahsil al-ibqa. Maksud
tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung. Sedangkan yang
dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut
dengan cara menjaganya dari kemadharatan dan sebab-sebabnya.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Marsalah adalah
suatu kemaslahatan yang tidak mempumyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. [12]
3.
Al-Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta
berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menggagapnya kebaikan.
Secara bahasa istihsan berasal
dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti
menganggap sesuatu baik.[13]
Menurut Istilah ulama ushul, Istihsan adalah
sebagai berikut:
a.
Menurut Al- Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 :“Ihtisan
adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b.
Al Muwafiq Ibnu Qudamah Al- Hambali berkata, “Istihsan adalah
suatu keadilan terhadap hukum dan dan pandangannya karena adanya dalil tertentu
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
c.
Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzab Al-Maliki berkata, “Istihsan adalah
pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam menanggapi dalil yang
bersifat global.”
d.
Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “Ihtisan adalah perbuatan adil
terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandangkan hukum yang lain, karena
adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan
keadilan.”
e.
Muhammad Abu Zahrah, “ Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan
Al-Kurkhi Al-Hanafi.
Maka dari pendapat diatas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Ihtisan adalah perbuatan adil dalam hukum
yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia dan lain-lain.[14]
4.
Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa sadd berarti
menutup dan al-zari’ah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Ada
kalangan tertentu yang memaknai al-zari’ah secara khusus, yaitu suatu
yang membawa kepada yang dilarang dan menimbulkan kemadhorotan. Dengan demikian
saddu al-zari’ah berarti menutup
jalan yang mencapaikan kepada tujuan.[15]
Pengertian sad Adz-dzari’ah, menurut Imam
Asy-Syatibi adalah ” melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan.”
Dari pendapat tersebut diketahui bahwa sadd
Adz-dzariah adalah perbuatan yang mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir
pada suatu kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai zakat, namun
sebelum haul ia menghibahkan hartanya kepada anaknya agar tidak dikenai zakat.
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
hukum kehujjahan sad ad-zariyah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah
dan Hanabilah dapat menerima salah satu dalil syara’. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah hanya dapat menerima sad al-dzariyah dalam
masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya pada masalah-masalah lain.[16]
5.
Madzhab Sahabat
Setelah Rasulullah SAW wafat, tampilan para sahabat
yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa
kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang lama
bergaul dengan Rasulullah SAW dan memahami al-Qur’an serta hukum-hukumnya.[17]
Kalau yang disampaikan sahabat
itu secara pribadi tidak disertai oleh pendapat lain yang berbeda, diterima
ulama ushul sebagai dalil syara’ dan ditempatkan sebagai ijma’ ulama
dalam bentuk sekuti, namun kalau pendapat tandingan dari sahabat lain,
sulit menempatkannya sebagai dalil hukum. Karena hukum syara’ itu hanya satu.
Oleh karena itu, kedudukanya sebagai dalil hukum syara’ menjadi perbedaan
dikalangan ulama, kebanyakan ulama’ tidak menempatkan sebagai dalil. Meskipun
demikian, sebagian ulama’ mengambilnya sebagai pertimbangan waktu penetapkan
hukum atau sebagai penguat atas suatu dalil yang digunakan dalam menentukan
hukum.[18]
6.
Syara’ Ummat sebelum Kita
Adalah syariat atau
ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang berkaitan dengan hukum, seperti syari’at Nabi
Ibrahim, Musa, dan Isa as.[19]
Syariat yang dimaksud adalah syariat yang jelas
dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama.
7.
Al-Uruf wal’Adah
Urf secara bahasa berarti sesuatu
yang telah dikenal dan dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Dalam
kajian ushul fiqh, urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat
dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram. Dalam konteks
ini, istilah urf sama dan semakna dengan istilah al-‘Adah (adat
istiadat).[20]
Pengertian diatas juga sama dengan pengertian
menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling
pengertian diantara manusia tentang jual beli tampa mengucapkan sighatnya.
Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, ‘urf ditunjukan
untuk memelihara kemaslahatan umut serta menunjang pembentuakan hukum dan
penafsiran beberapa nash.[21]
Adalah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang
disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain. Abu Hurairah dari kalangan syafi’iyah
menyatakan pendapat di jadikan hujjah.
F. Contoh Istinbath Dan Istidlal Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Metode
istinbath
yang
digunakan DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang transaksi jual beli emas secara
tidak tunai adalah berdasarkan al-Qurân, hadis Nabi Saw,
kaidah ushul, kaidah fiqh, dan pendapat para ulama, dengan penjelasan sebagai
berikut:
1.
Firman Allah SWT dalm QS Al-baqarah Ayat 275 :
"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba …"
Lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya tentang jual beli yaitu mencantumkan ayat al-Qurân di atas, yaitu dalil al-Qurân yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual beli yaitu QS. al-Baqarah ayat 275.
Lazimnya fatwa-fatwa sebelumnya tentang jual beli yaitu mencantumkan ayat al-Qurân di atas, yaitu dalil al-Qurân yang digunakan merujuk pada dalil induk pembolehan jual beli yaitu QS. al-Baqarah ayat 275.
2.
Hadis
Nabi Saw
Dalil-dalil dari hadis Nabi Saw ada enam hadis yang
digunakan untuk menjadi landasan fatwa, empat diantaranya
yaitu :
a.
Hadis yang menjelaskan tentang jual beli emas
dengan emas haruslah secara tunai.
b.
Hadis
yang menjelaskan tentang jual beli emas dengan perak adalah riba kecuali
dilakukan secara tunai.
c.
Hadis tentang larangan menjual emas dengan emas
kecuali sama nilainya dan tidak menambah
sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak
tunai dengan yang tunai.
d.
Hadis
tentang larangan untuk menjual perak dengan emas secara piutang (tidak
tunai) Empat hadis di atas secara tegas dan eksplisit
melarang transaksi emas dengan cara
tidak tunai (tangguh/cicil) .
Sedangkan dua hadis lain berkaitan dengan dasar
dalam berjual beli yaitu;
a.
Hadis tentang jual beli harus berdasarkan kerelaan
pihak yang bertransaksi.
b.
Hadis
tentang musyawarah dilakukan bukan untuk mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.
Kedua
hadis diatas menerangkan bagaimana proses musyawarah dalam
mengambil sebuah hukum (termasuk hukum berjual-beli), yang mengisyaratkan bahwa pengambilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidakmengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Menurut DSN-MUI, saat ini masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas dan perak sebagai uang, tetapi sebagai barang (sil’ah). Karena itu, jual beli emas dan perak secara tangguh diperbolehkan. Hal inisesuai dengan kaidah ushul yang menjadi landasan DSN-MUI.
mengambil sebuah hukum (termasuk hukum berjual-beli), yang mengisyaratkan bahwa pengambilan hukum muamalah dapat dilakukan dengan musyawarah sepanjang tidakmengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Menurut DSN-MUI, saat ini masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas dan perak sebagai uang, tetapi sebagai barang (sil’ah). Karena itu, jual beli emas dan perak secara tangguh diperbolehkan. Hal inisesuai dengan kaidah ushul yang menjadi landasan DSN-MUI.
3.
Kaidah Ushul
Kaidah Ushul dalam fatwa yang digunakan adalah “hukum berputar (berlaku) bersama ada
atau tidak adanya ‘illat”.
Kaidah ini merupakan kaidah dalam syariah yang sifatnya merupakan kelaziman dalam mengambil hukum.Kaidah ini mereferensi dari
buku yang ditulis Ali Ahmad al-Nadawiy.
4.
Kaidah Fiqih
DSN-MUI menyebukan
4 kaidah fi kih, dimana 3 diantaranya menyebutkan esensi kaidah yang sama yaitu :
a.
Adat (kebiasaan masyarakat) dijadikan dasar penetapan
hukum.
b.
Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku
bersama adat tersebut dan
batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata
uang
dalam muamalat.
c.
Setiap hukum yang
didasarkan pada suatu ‘urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak
berlaku) ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika
adat berubah, maka hukum pun berubah. Dan yang keempat adalah kaidah dasar dalam bermualah
:
d.
Pada dasarnya,
segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali adalil yang mengharamkannya.
5.
Pendapat Para Ulama Yang Membolehkan.
Dalam fatwanya,
DSN-MUI juga mendasarkan fatwanya kepada pendapat para ulama yang membolehkan transaksi
jual beli emas secara tidak tunai, seperti Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim dan ulama kontemporer yang sependapat. Mereka
mengemukakan
Bahwa Pertama, emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang
dijual dan
dibeli seperti halnya barang biasa, dan bukan lagi tsaman (harga,
alat pembayaran,uang). Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan
berubah menjadi seperti pakaian dan barang, dan bukan
merupakan tsaman
(harga,
alat pembayaran, uang).
Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.
Oleh karenanya tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama.
Kedua, Pada zaman
ini manusia sangat membutuhkan untuk melakukan jual beli emas.
Apabila tidak
diperbolehkan jual beli emas secara angsuran, maka rusaklah kemaslahatan
manusia dan mereka akan mengalami kesulitan. Sekiranya pintu (jual
beli emas secara angsuran)ini ditutup, maka tertutuplah pintu utang piutang, masyarakat
akan mengalami kesulitan yang tidak terkira. Dengan demikian, dalam penetapan
fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai
DSN-MUI mengacu pada prosedur penetapan metode Istidlal kemudian
di istinbathkan
dengan hukum mubah dalam jual beli emas tidak tunai, metode yang digunakan
DSN yaitu metode Istinbath Istislahi yaitu
penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan
yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah
tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Hal ini semata-mata untuk
menjaga
bahwa fatwa yang dikeluarkan DSN secara jelas dapat diketahui sumber
atau
dalil-dalil yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah dalam menentukan fatwa.[23]
- Kesimpulan
Istinbath dan istidlal merupakan
dua metode dalam pengambilan hukum Islam. Keduanya merujuk pada sumber hukum
Islam. Istinbath merupakan mengambil hukum atas sesuatu yang baru dari
sumber hukum Islam. Sedangkan istidlal
adalah metode pencarian dalil hukum atas sesuatu perkara yang belum
terdapat dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’, maupun qiyas.
Seseorang yang melakukan istinbath
harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya: harus memiliki ilmu dan
pengetahuan mengenai cara istinbath hukum, memiliki ilmu dan wawasan
mengenail sumber-sumber hukum Islam, memiliki ilmu dan wawasan mengenai bahasa
Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an, dan masih banyak lainnya.
Yang termasuk Istidlal adalah istishab secara bahasa mengandung arti meminta ikut serta secara terus menerus. Istishab
adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya. Al-Maslahah
Al-Mursalah semakna dan sewazan
(setimbangan) dengan kata al-Manfaat, yaitu bentuk masdar yang
berarti baik dan mengandung manfaat. Al-Maslahah merupakan bentuk mufrod
yang jama’nya al-Masalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-maslahah
merupakan segala yang mendatangkan mafaat baik melalui cara mengambil dan
melakukan sesuatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala
bentuk yang menimbulkan kemadhorotan dan kesulitan. Al-Istihsan, istihsan
diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan
menggagapnya kebaikan. Secara bahasa istihsan berasal
dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti
menganggap sesuatu baik. Saddudz Dzari’ah kalangan tertentu yang memaknai al-zari’ah secara khusus, yaitu
suatu yang membawa kepada yang dilarang dan menimbulkan kemadhorotan. Dengan
demikian saddu al-zari’ah berarti
menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Madzhab Sahabat, Syara’ Ummat sebelum Kita, Al-Uruf wal’Adah.
Contohnya adalah seperti pembelian perhiasa emas dengan tidak tunai atau
kredit dengan sistem pembayaran dicicil. Yang sesungguhnya cara tersebut termasuk
dalam riba karena ada penambahan harga di dalamnya. Namun karena kebutuhan
masyarakat yang merasa diuntungkan dengan cara pembelian tersebut tanpa merasa
dirugikan sama sekali, maka diambillah hukum dari pembelian emas secara dicicil
tersebut diperbolehkan.
Daftar
Pustaka
Amirudin, Zen. 2009.
Ushul Fiqih .Yogyakarta: Teras, 2009.
Bagir,
Haydar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad
Dalam Sorotan. Bandung. Mizan Anggota IKAPI.
Effendi, Satria. 2008.
Ushul Fiqh .
Jakarta. Kencana Renada Media Grou
SA, Romli SA.
2014. Studi
Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Syarifuddin,
Amir . 2008. Ushul Fiqh .Jakarta. Prenada Media Group.
Syarifuddin,
Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh . Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP. 2012.
Zamani, Ahmad Zakki. 2016. Istidlal Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Tentang Jual Beli
Emas Tidak Tunai, Vol.15, No.1 Jurnal Al-Banjari,
2016.
[2] Ahmad Zakki
Zamani, Istidlal Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Tentang Jual Beli Emas Tidak
Tunai, Vol.15, No.1 Jurnal Al-Banjari, 2016, 85.
[14] Rachmat Syafe’I, Ilmu UsHul Fiqih,111-112.
[18] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta:
KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2012), 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar